Friday, October 17, 2008

Petani Sawit dan Karet, Nasibmu Kini !

Hanya sebulan yang lalu, sawit dan karet, masih menjadi primadona bagi petani petani Indonesia di Sumatera, Riau maupun Kalimantan. Namun itu semua hilang dalam sekejap.

Harga minyak dunia anjlok secara drastis dari $ 147 per barrel dan kini menyentuh $ 70 per barrel, kemudian juga diikuti kisruh sektor finansial Amerika dan dunia akibat subprime mortgage. Harga sawit dan karet pun runtuh terjun bebas ke titik terendahnya.

Sawit yang semula masih bisa dijual petani sampai dengan Rp. 2,000/kg kini harganya tinggal Rp. 450/kg, terpangkas lebih dari 75%. Karet juga idem tito, harga pada saat peak mencapai Rp. 12,000/kg kini hanya tinggal Rp. 5,000 - 6,000/kg.

Penurunan harga kedua komoditas unggulan petani Indonesia itu jauh melampaui penurunan harga minyak dunia, juga melampaui penurunan IHSG kita. Kenapa bisa terjadi seperti itu ? apakah itu cermin paling buruk rasa pesimisme pedagang akan suramnya industri hilir sawit dan karet ? atau ulah spekulan yang memanfaatkan momentum ini untuk mengeruk keuntungan sebesar besarnya ?

Bagi petani Sawit, Karet, Kakao dan komoditas lainnya, krisis sekarang jauh berbeda dari krisis 1998 lalu. Dulu saat Jakarta dan Jawa mengalami krisis karena dollar melambung tinggi, petani di luar jawa malah panen karena terkereknya harga komoditas ke level tertinggi. Rupiah yang sangat murah membuat harga komoditas Indonesia sangat murah bagi industri diluar. Permintaan komoditipun melambung. Dan segera saja Indonesia menjadi raja karet dan sawit, walau tentunya sebagian perkebunan itu dimiliki negeri tetangga...

Saat ini yang pertama terhantam krisis adalah Amerika dan diikuti negara negara maju di Eropa dan Asia. Walaupun dollar naik sedikit terhadap rupiah, namun permintaan komoditi turun jauh seiring suramnya prospek perekonomian negara negara pengimpor komoditi Indonesia tersebut. Belum lagi kelebihan penawaran yang terjadi karena investasi jor joran beberapa tahun lalu saat harga harga komoditi naik tinggi.

Ternyata tingginya harga komoditi beberapa tahun lalu bukanlah disebabkan oleh naiknya permintaan dunia yang tinggi, namun ulah spekulan yang menjadikan komoditi sebagai arena judi di bursa komoditi. Tidaklah heran kalau harga minyak bisa naik turun sangat tajam dan berimbas langsung ke harga sawit dan karet.

Kini semua sudah terjadi ! hendaknya kita bisa belajar lagi dari krisis sekarang. Kisah Nabi Yusuf sangatlah relevan bagi petani petani kita. Tujuh tahun masa masa keemasan sawit dan karet sudah berlalu, kini tinggal masa suramnya. Semoga tidak berkepanjangan tujuh tahun masa suram.

Bagi petani yang selalu belajar, tentu masa masa keemasan digunakan untuk menabung dan mengumpulkan modal, bukannya membeli motor, kulkas dan barang kemewahan lain yang tidak produktif....sekarang saatnya bertahan dengan simpanan itu.

Hendaknya pemerintah juga proaktif untuk merealisasikan industri industri hilir pengolah sawit dan karet, sehingga ekspor kita bukanlah komoditas yang fluktuatif dan bernilai tambah kecil. Namun sudah menjadi produk olahan yang memiliki nilai tambah tinggi...

Seorang senior saya mengatakan, kita ini sejak jaman dijajah Belanda sampai sekarang, hanyalah mengandalkan ekspor komoditas yang mudah. Hanya keduk dan keruk atau tanam dan petik......

Krisis ini hendaknya membuat pemerintah belajar untuk segera membangun industri hilir atas komoditas kita yang sudah merajai dunia....

Monday, October 13, 2008

Dr. Mark Mobius - Investor Emerging Market


Kalau mendengar nama Warren Buffet ataupun George Soros, saya yakin Anda semua pernah mengenalnya. Atau setidak tidaknya mendengar namanya disebut sebut dalam pembicaraan sehari hari.

Namun jika kita mendengar nama Mark Mobius, saya tidak yakin Anda pernah mendengarnya. Jangankan tahu siapa dia dan dalam bidang apa orang ini layak disimak sepak terjangnya. Sayapun baru tahu siapa sosok ini setelah membaca sebuah bioghrapi yang diterbitkan dalam bentuk komik yang menarik. Anda bisa cari komiknya di Gramedia...

Dr. Joseph Mark Mobius, demikian nama lengkapnya, adalah juga seorang investor dan manajer investasi sekaliber Soros ataupun Buffet. Beliau mengelola dana miliaran dollar melalui Franklin Templeton Investment.

Yang menjadikannya istimewa buat saya karena Mark Mobius adalah orang pertama yang berani dan memulai investasi di bursa Emerging Market atau negara negara yang sedang berkembang seperti; China, India, Argentina, Brasil, Malaysia, Indonesia, Philipina, Rusia, Korea dan lainnya...

Mark Mobius sangatlah piawai memahami karakteristik perusahaan, bursa, ekonomi, situasi politik dan budaya negara negara berkembang. Hal ini ditunjang oleh pengalaman hidupnya yang menghabiskan lebih dari tigapuluh tahun di negara negara Asia, terutama di Thailand, Hongkong, Jepang dan Taiwan.

Tidaklah mengherankan kalo dana dana yang dikelolanya menghasilkan return yang sangat tinggi. Hal ini sesuai dengan resiko yang yang juga tinggi di emerging market, namun dia mampu meminimalkannya...

Beberapa nasehat investasi Mark Mobius yang patut kita cermati adalah :

Bila ingin memperoleh hasil investasi terbaik. Anda harus melihat ke banyak pasar, akan selalu ada pasar yang berpotensi besar.

Masalah terbesar pasar berkembang adalah rendahnya likuditas saham dan juga regulasi dan penegakan hukum yang lemah

Jangan pernah meremahkan kekuatan politik di emerging market. Membaca situasi politik sama pentingnya dengan data laporan keuangan.

Harga saham akan terus naik turun sepanjang hidupnya bursa. Tugas kita dalah mengevaluasinya dan menemukan saham saham dibawah pasar dengan industri yang kuat dan manajemen yang baik

Anda tertarik mengenal lebih banyak tentang Dr. Mark Mobius ?

Silahkan baca komiknya. Semoga bermanfaat.................

Membangun Spirit Wirausaha Kaum Muda


Tidak ada bangsa yang sejahtera dan dihargai bangsa lain tanpa kemajuan ekonomi. Kemajuan ekonomi akan dapat dicapai jika ada spirit entrepreneurship, semangat kewirausahaan, yang kuat dari warga bangsanya.
China baik dijadikan contoh konkret dan paling dekat. Setelah menggelar pesta akbar Olimpiade 2008 yang mencengangkan banyak orang beberapa waktu lalu, mereka kembali membuat dunia berdecak dengan kesuksesan astronotnya berjalan-jalan di angkasa luar.

Kini, dunia menantikan China turun tangan membantu mengatasi krisis keuangan global. Tanpa kemajuan ekonomi, tentu semua itu tak mungkin dilakukan China. Salah satu faktor kemajuan ekonomi China adalah semangat kewirausahaan masyarakatnya, yang didukung penuh pemerintahnya.

Pernyataan seperti pada awal tulisan ini berkali-kali diutarakan dalam berbagai kesempatan terpisah oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla yang memang berlatar belakang pengusaha. Pengusaha nasional lainnya juga berbicara senada, antara lain Ciputra, Sofjan Wanandi, dan Arifin Panigoro. Bukan hanya mereka yang sudah senior dan telah mengenyam banyak asam garamnya bisnis, tetapi juga kalangan muda generasi kini, seperti Rachmat Gobel, Muhammad Luthfi, Sandiaga Uno, Erwin Aksa, dan Anindya Bakrie. Mereka juga geregetan melihat lambatnya kebangkitan wirausaha di kalangan kaum muda sendiri.

Persoalan ada pula di sisi lain, yakni masih kaburnya visi serta rendahnya komitmen birokrat dan pengambil kebijakan publik tentang pentingnya membangun semangat kewirausahaan masyarakat, terutama di kalangan anak-anak muda. Kewirausahaan hanya bisa bangkit manakala diberi lahan subur untuk bersemai, dipupuk, dilindungi, dan dibela kepentingannya.

Negara maju umumnya memiliki wirausaha yang lebih banyak ketimbang negara berkembang, apalagi miskin. Amerika Serikat, misalnya, memiliki wirausaha 11,5 persen dari total penduduknya. Sekitar 7,2 persen warga Singapura adalah pengusaha sehingga negara kecil itu maju.

Indonesia dengan segala sumber daya alam yang dimilikinya ternyata hanya memiliki wirausaha tak lebih 0,18 persen dari total penduduknya. Secara historis dan konsensus, sebuah negara minimal harus memiliki wirausaha 2 persen dari total penduduk agar bisa maju.

Pengimbang

Bangsa Indonesia semakin berpacu dengan bangsa lain yang sudah lebih dulu maju. Bahkan, negara-negara yang pernah mengalami krisis ekonomi seperti Indonesia, yang menyebabkan mulai bergantinya pelaku aktif di dunia bisnis, semakin jauh melesat. Korporasi baru terus bermunculan, dikendalikan kaum muda dengan visi bisnis yang kuat, jiwa kewirausahaan yang tangguh. Pemimpin bisnis berusia muda terus bermunculan, siap membawa ekonominya melaju lebih pesat.

Dalam bukunya, When Corporation Rule the World, David C Korten sangat ”alergi” terhadap korporasi multinasional. Dengan kekuatan modal, teknologi, dan sumber daya manusia yang dimiliki, mereka akan terus menggunakan segala kekuatan untuk melakukan ekspansi dan pengisapan kekayaan di negara-negara tertinggal atau berkembang tempat mereka beroperasi.

Untuk mengimbangi semakin mengguritanya korporasi multinasional itu, tidak lain kecuali membangun semangat kewirausahaan di kalangan manusia baru Indonesia seagresif mungkin sehingga lahir semakin banyak pelaku usaha, dan tumbuhnya korporasi-korporasi baru yang sehat dan tangguh.

Untuk mempercepat pertumbuhan wirausaha di dalam negeri, harus ada upaya serius untuk menciptakan orang-orang yang mampu mengambil peluang yang ada dan menciptakan lapangan kerja untuk dirinya maupun untuk orang lain. Lembaga pendidikan mesti bisa berperan lebih banyak lagi untuk menumbuhkan semangat kewirausahaan dan membentuk orang-orang yang tahan banting dengan segala kesukaran yang dihadapi untuk membangun kemandirian.

Tanpa semua itu, Indonesia hanya akan menjadi pasar yang besar bagi produk bangsa dan korporasi asing. Kekayaan berupa potensi sumber daya alam akan lebih banyak dinikmati bangsa lain, sementara bangsa sendiri cukup puas mengonsumsi karya bangsa lain.

Tidak ada negara sekaya dan selengkap sumber daya alam Indonesia. Sejak zaman penjajahan, nusantara ini sudah menjadi sumber utama dunia akan hasil bumi dan laut, komoditas primer. Komoditas pertanian, perkebunan, laut, dan pantai Indonesia sudah jadi pembicaraan pebisnis global. Berdatangannya partikelir untuk berdagang, dan sebagian berujung penjajahan, adalah bukti otentik dari catatan sejarah masa silam itu.

Keterampilan manusianya dalam hal menghasilkan komoditas dagangan dunia pun tak diragukan. Akan tetapi, semua itu bisa menjadi tinggal kenangan di tengah arus kapitalisme global yang mengutamakan keunggulan modal, teknologi, dan inovasi manusianya, yang kini menjadi kelemahan bangsa ini.

Indonesia penghasil kakao terbesar ketiga di dunia, tapi bukan penghasil cokelat terkemuka. Swiss yang tidak punya lahan untuk menanam kakao menjadi produsen cokelat terkemuka. Bangsa Jepang tak punya sumber daya alam yang berlebihan, tapi negara ini bagaikan pabrik raksasa yang memasok kebutuhan hidup manusia sedunia. Semua itu karena kewirausahaan masyarakatnya yang kuat.

China, Korea Selatan, dan India semakin berjaya mengibarkan produk-produknya sebagai bendera nasionalnya di pentas global. Bisnis korporasi multinasional terus menggurita di tanah air, sementara pengusaha dan korporasi nasional belum juga memiliki satu pun produk bermerek global, kecuali terkenal sebatas pemasok komoditas primer bernilai tambah rendah

Source : Kompas, 13 Oktober 2008 by Andi Suruji
http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/10/13/00203980/membangun.spirit.kewirausahaan.kaum.muda