Saturday, May 23, 2009

Tujuh Pilar Bisnis Virgin Group


Seperti yang pernah saya ulas dalam tulisan pertama. Pada dasarnya pilar bisnis Virgin Group dibagi menjadi tujuh pilar utama.

Ketujuh bidang tersebut meliputi : People, Brand, Delivery, Learning from Mistake and Setbacks, Innovation, Entrepreneurs & Leaderships, and Social Responsility.

People : finding good people and set them free, key success dalam sebuah bisnis adalah mencari orang yang tepat yang akan menjalankan bisnis tersebut. Menurut Richard Branson patokan utama yang harus dipegang teguh adalah karakter dan integritas, passion terhadap bisnis yang akan dijalani dan open minded terhadap ide ide baru. Skill menjadi prasyarat nomor sekian karena semua skill bisnis bisa di pelajari asal kita punya passion yang besar.

Dengan pola bisnis Virgin Group yang hampir semuanya di jalankan melalui ventura, people menduduki deretan teratas dalam prioritas bisnis Virgin Group. Semua karyawan kunci yang diajak bisnis oleh Richard Branson selalu mendapat bagian saham. Sampai dengan saat ini sudah ratusan karyawan kunci Virgin Group yang menjadi milyuner berkat system Ventura yang di jalankan.

Virgin Group juga sangat menghargai kebebasan karyawan dalam inovasi. Semua karyawan harus terbuka, saling berkomunikasi dalam mengemukakan ide dan gagasannya. Tidak ada ide yang bodoh. Ide bodoh adalah ide yang tidak diungkapkan.

Yang rada unik, pada awal awal bisnisnya. Richard Branson sangat percaya bahwa kalau sebuah bisnis karyawannya sudah mencapai 100 orang maka harus di pecah. Dibuat unit bisnis baru. Karyawan yang terlalu banyak tidak akan menumbuhkan kreatifitas dan memperlambat proses pengambilan keputusan.....

Brand and Delivery : Conventional wisdom yang dianut oleh hampir seluruh perusahaan besar dunia adalah focus pada apa yang kita ketahui, focus pada passion dan skill terbaik yang kita miliki.

Dari konsistensi focus dan selalu berusaha mencari perbaikan pada apa yang kita tekuni. Lahirlah brand brand dunia yang sangat besar. Coca Cola & Pepsi focus pada minuman soda. Microsoft, Oracle & SAP focus pada software, Intel focus pada processor dan Nike ataupun Adidas focus pada sepatu olahraga.

Namun Virgin adalah sebuah pengecualian. Virgin merupakan sebuah brand besar yang tidak focus pada hanya satu bidang usaha saja. Lini usahanya merentang dari rekaman, media, penerbangan, telekomunikasi, resort, kebugaran, keuangan, kereta api sampai wisata ruang angkasa. Virgin memiliki keunikan tersendiri.

Lantas apakah Virgin tidaklah focus ? Salah besar kalau kita menyangka Virgin tidak memiliki focus.

Untuk menopang brand yang sangat besar, focus Virgin adalah virgin customer experience. Virgin tidak focus pada produk atau bidang usaha yang digeluti. Tetapi apapun produk dan bidang usaha itu, haruslah memiliki Virgin customer experience.

Fokus pada usaha terus menerus untuk memberikan yang terbaik buat customer, membuat customer merasa istimewa dan bahagia pada setiap produk dengan brand Virgin. Hal ini juga merupakan salah satu filosofi bisnis paling utama dari pendirinya, Richard Branson.

Gaya hidup Richard Branson juga turut mengerek brand Virgin dimata customer. Gaya hidup eksentrik, santai sekaligus pekerja keras, risk taker, fearless, cinta damai, pro lingkungan dan keperdulian yang sangat tinggi pada warga yang kurang mampu.

Salah satu nasehat utama Richard Branson untuk membuat brand kita tetap dicintai customer adalah, “ Dalam bisnis atau produk apapun sebuah brand. Anda harus deliver apa yang dijanjikan. Jangan pernah menjanjikan apapun yang tidak bisa Anda deliver “.

Delivery adalah soal detail. Rincian sampai sekecil mungkin mengenai harapan customer akan produk atau jasa yang kita tawarkan. Kegagalan membuat sebuah rincian harapan customer merupakan awal kegagalan sebuah delivery dan tanda tanda hancurnya sebuah brand.

The devil is in detail. Dalam setiap bisnis yang ingin dimasukinya, Richard Branson selalu minta sebuah perencanaan detail segala aspek bisnis tersebut kepada mitra yang mengajak. Opini pihak ketiga dari masing masing ahli dibisnis itu juga selalu dia mintakan. Tak jarang ahli tersebut kemudian bergabung pula dalam bisnis yang dimasuki ini.

Konsistensi Richard Branson dalam urusan detail inilah yang merupakan kunci sukses dalam setiap bisnis yang dia masuki. Seolah memiliki sentuhan midas, bisnis apa saja yang dimasuki pasti sukses. Tidak sedikit perusahaan yang hampir bangkrut menjadi sukses besar setelah di branding dengan brand Virgin.

Virgin customer experience seolah menjadi mantra jaminan bagi jutaan customer yang dilayani.

Friday, May 22, 2009

Hasil tergantung respon kita terhadap kejadian yang ada


Seorang teman datang kepada saya. Dengan berapi api mengeluhkan sikap atasannya yang tidak menghargai pekerjaan dia. Semua yang sudah dikerjakan selalu dicela kekurangannya, sementara sisi positifnya tidak pernah diungkap. Kondisi ini sudah berlangsung lebih dari dua tahun sehingga teman saya ini menyimpulkan tidak akan pernah punya prospek karir lagi diperusahaannya.

Herannya ! dia sampai sekarang tetap saja bertahan di perusahaan itu dan menjalani frustasi berkepanjangan.

Rekan lain mengeluhkan sikap mitra kerjanya yang tidak professional. Hanya di awal awal pekerjaan mitra nya semangat, begitu sampai pada titik tersulit dan mitra ini sangat dibutuhkan tim. Dia kabur. Tidak meninggalkan berita apapun dan susah di kontak. Padahal deadline pekerjaan mesti diselesaikan. Dengan susah payah dan penuh gerutuan rekan saya inipun terpaksa menyelesaikan semuanya.

Namun herannya, kalo ada project project yang menarik. Rekan saya ini masih saja mengajak mitra tersebut dengan alasan banyak ilmunya, tidak enak kalo ditinggal dan ratusan alasan pembenaran lain.

Setiap pagi atau sore kalo kita dengarkan radio. Banyak sekali keluhan yang dilontarkan masyarakat mengenai kemacetan yang terjadi di sepanjang jalan ke kantor atau pulang kerumah. Lampu merah yang tidak menyala. Absennya petugas diperempatan perempatan rawan macet. Main serobot oleh pengemudi lain atau bahkan pengemudi yang tidak bisa menahan emosinya dan berantem di jalanan.

Keluhan seperti ini hampir setiap hari terjadi. Dan sudah berlangsung bertahun tahun. Namun sampai sekarang belum pernah ada perbaikan yang berarti sehingga menimbulkan frustasi masyarakat.

Dari tiga contoh keseharian diatas, semuanya berujung pada rasa frustasi kita. Kita menghadapi kondisi yang tidak bisa banyak kita ubah. Atasan yang tidak fair, rekan kerja yang tidak professional ataupun kemacetan dijalanan setiap jam berangkat dan pulang kantor.

Jack Canfield dalam sebuah bukunya membuat sebuah formula sederhana untuk menghadapi kondisi seperti diatas :

Events + Responses = Outcome

Ide dasarnya adalah hasil apapun yang kita peroleh; rasa bahagia atau frustasi, kesehatan yang prima atau sakit sakitan; kita kaya atau miskin, sukses atau gagal, merupakan hasil dari respon kita terhadap kejadian ( events ) yang kita alami dalam hidup kita.

Kita bisa saja selalu menyalahkan kejadian (events) yang menimpa kita atas hasil (outcome) buruk yang kita peroleh. Hal ini tidak akan memberikan dampak perbaikan apapun dalam kehidupan kita. Yang ada malah frustasi berkepanjangan karena kita ternyata tidak mampu mengubah kejadian tersebut.

Ternyata bukan kejadiannya yang mesti kita ubah. Tapi diri kitalah yang harus berubah. Respon kita terhadap kejadian itulah yang menentukan kualitas hasil ( outcome ) sehingga sesuai dengan yang kita inginkan. Mari kita bayangkan pada tiga situasi yang sering kita alami diatas.

Situasi pertama; kita tidak mampu merubah sikap atasan kita untuk lebih fair, namun kita bisa mengubah respon kita. Kalau kita selalu minta masukan sisi mana saja yang masih kurang dari pekerjaan kita dan solusi perbaikan apa yang dia tawarkan. Maka setahap demi setahap kualitas pekerjaan kita akan semakin meningkat.

Seandainyapun ini sudah kita lakukan bertahun tahun dan atasan tetap tidak fair. Tanpa kita sadari kualitas pekerjaan kita sudah meningkat jauh. Sudah saatnya kita mencari pekerjaan lain. Banyak sekali pekerjaan diluar sana yang membutuhkan kita. Atau bisa juga kita mendirikan perusahaan sendiri.

Situasi kedua; kita tidak mampu merubah sikap tidak professional mitra kita. Kalau respon kita hanya selalu mengeluh, maka tidak ada perbaikan apapun pada kita sendiri. Ya mudahnya kita tinggalkan saja mitra seperti ini. Kita perbaiki diri kita sendiri untuk bisa mengisi kelebihan yang dimiliki mitra kita, atau kita cari mitra baru yang lebih professional.

Situasi ketiga; banyak orang stress dan frustasi setiap hari menghadapi kemacetan lalu lintas. Usaha paling minimal yang bisa kita lakukan adalah kita berkendara dengan disiplin. Untuk menghindari kemacetan, kita bisa berangkat lebih pagi. Bisa juga kita siapkan buku atau majalah yang bisa kita baca (kalau pakai sopir) atau mendengarkan siaran radio yang bermanfaat atau musik.

Saya sendiri hampir setiap pagi juga menghadapi kemacetan lalu lintas. Sekarang saya sudah tidak frustasi lagi. Saya dengarkan Andrie Wongso, James Gwee ataupun Arvan Pradiansyah di Smart FM kalo pagi, TDW, Bambang Syumanjaya atau Jansen Sinamo kalo sore. Bisa juga Jamil Azzaini di Trijaya FM.

Walaupun dirumah langganan Kompas. Dilampu merah saya selalu sempatkan beli Kontan dan membaca ulasan saham saham layak koleksi kalau macet parah di lampu merah. Kita tidak frustasi, banyak manfaat yang bisa didapat.

Jadi keputusan ditangan Anda. Mau frustasi berkepanjangan atau merubah respon Anda dengan hal hal yang lebih bermanfaat sehingga outcome nya memperbaiki kualitas hidup anda.

Semoga bermanfaat

Wednesday, May 20, 2009

New Product of Oasis Fashion !



Setelah merilis enam produk unggulan pada Januari lalu. Mei ini Oasis kembali meluncurkan empat produk baru dengan warna warna cerah dan dinamis. Sangat cocok untuk remaja dan bisa dipakai disegala acara. Saat saat santai, ke kampus, gaul maupun jalan bareng ke mall.


Pengalaman panjang dan komitmen penuh untuk memberikan produk terbaik bagi remaja Indonesia menjadikan produk produk OASIS trend setter bagi fashion remaja. Kami memberikan produk unggulan dengan harga yang masih sangat terjangkau.

Untuk pilihan produk yang lebih luas dan informasi lebih detail. Kunjungi galeri kami di Oasis Fashion

Who is Responsible for Your Success?


By Jack Canfield

This isn't a trick question.

Certainly you know the answer--the person who has been responsible for the life you live right now: YOU.

Everything about you is a result of your doing or not doing... Your income. Debt. Relationships. Health. Fitness level. Attitudes and behaviors.

I think everyone knows this in their hearts, but often times people convince themselves into thinking that external factors are the source of their failure, disappointment, and unhappiness.

External factors do not determine how you live. YOU are in complete control of the quality of your life.

When I hear people complain about the state of their life (be it their problems with personal finances, weight, their jobs, or general dissatisfaction) I like to help them see things differently.

If they feel "stuck" and unable to move forward for whatever reason, I ask them to scrutinize both what is working well and what isn't working well in their life and see how they've arrived at where they currently are.

For example, if a woman tells me she's unhappy with her weight--she travels frequently, and has no to time to exercise or seek healthy foods--I point out that her weight is not a result of her travels and schedule. It's an outcome of what she chooses to eat and how she chooses to move, regardless of her daily agenda. Why not make a conscious effort to pre-plan healthy meals and snacks, even if it's on the go, and sneak in 10 minutes here and 10 minutes there to be physically active (hey, I know some frequent flyers who make it a habit of running through airports!).

If you're frustrated with any area in your life, then it's time to take a little inventory. Certainly there are wonderful things happening, whether it's your job, your romantic relationship, your children, your friends, or your income level. Your accomplishments are just as important as your missteps.

First, congratulate yourself on your successes; and then take a look at what isn't working out so well. What are you doing or not doing to create those experiences?.......

Watch out! If you find yourself beginning to complain about everything but the choices you've made, then you need to take a step back. See if you can stop blaming outside factors for your unhappiness.

When you realize that you--and only you--create your experiences, you'll realize that you can un-create them and forge new experiences whenever you want.
How empowering is that!

You must take responsibility for your happiness and your unhappiness, your successes and your failures, your good times and your bad times.

All too often we choose to claim the successes and blame the failures on others or other circumstances. When you stop blaming, however, you can take that energy and redirect it to focus on shaping a better situation for yourself. Blaming only ties up your energy. Imagine roping all the energy into a positive effort.

Some ideas to make this happen:

Believe, Believe, Believe! Have unwavering faith in yourself, for good and bad. Make the decision to accept the fact that you create all your experiences. You will experience successes thanks to you, and you will experience pain, struggle, and strife thanks to you. Sounds a little strange, but accepting this level of responsibility is uniquely empowering. It means you can do, change, and be anything.
Stumbling blocks become just that--little hills to hop over.

Take no less than 100% responsibility . Successful people take full responsibility for the thoughts they think, the images they visualize, and the actions they take. They don't waste their time and energy blaming and complaining. They evaluate their experiences and decide if they need to change them or not. They face the uncomfortable and take risks in order to create the life they want to live.

Stop complaining . Look at what you are complaining about. I'm fat. I'm tired. I can't get out of debt. I won't ever get a better job. I can't stand the relationship I have with my sister. I'll never find a soulmate in life. Really examine your complaints. More than likely you can do something about them. They are not about other people, other things, or other events. They are about YOU.

Make an immediate change. Are you unhappy about something that is happening right now? Make requests that will make it more desirable to you, or take the steps to change it yourself. Making a change might be uncomfortable for you. It might mean you have to put in more time, money, and effort. It might mean that someone gets upset about it, or makes you feel bad about your decision. It might be difficult to change or leave a situation, but staying put is your choice so why continue to complain?

You can either do something about it or not. It is your choice and you have responsibility for your choices.

Pay attention. Looking to others for help and guidance is helpful, but don't forget to stay tuned in to yourself--your behavior, attitude, and life experiences. Identify what's working and what isn't. If you need to, write it all down. Then...

Face the truth and take action for the long term . You have to be willing to change your behavior if you want a different outcome. You have to be willing to take the risks necessary to get what you want. If you've already taken an initial step in the right direction, now's the time to plan additional steps to keep moving you forward, faster.

Isn't it a great relief to know that you can make your life what you want it to be? Isn't it wonderful that your successes do not depend on someone else?
So if you need just one thing to do different today than you did yesterday, make it this:

Commit to taking 100% responsibility for every aspect of your life. Decide to make changes, one step at a time. Once you start the process you'll discover it's much easier to get what you want by taking control of your thoughts, your visualizations, and your actions!

Tuesday, May 12, 2009

Business Stripped Bare : Adventures of Global Entrepreneur


Tahun 1966. Sebuah group media cukup besar di Inggris yang menguasai beberapa surat kabar dan majalah, tertarik untuk mengakuisi sebuah majalah remaja bernama Student.

Setelah melalui sebuah riset singkat mereka mengajukan penawaran sebesar ₤ 80,000 poundsterling kepada pemilik sekaligus Chief Editor Student yang merupakan seorang remaja berusia 16 tahun. Dengan opsi pemilik lama diberi kewenangan untuk tetap menjadi Chief Editor dan menjalankan tabloid tersebut. Sebuah tawaran fantastis untuk seorang remaja yang baru keluar dari SMA.

Membayangkan kehidupan yang menyenangkan. Membeli rumah di sebuah pantai dan menghabiskan sisa hidup dengan berpetualang membuat remaja tersebut segera mengiyakan tawaran ini. BOD meeting pun di gelar oleh group media tersebut guna mendengar lebih jauh potensi pengembangan apa yang bisa dilakukan terhadap majalah Student.

Sang remaja dengan tangkas menjawab semua pertanyaan seluk beluk beroperasinya majalah Student termasuk potensi pasar yang ada dan strategi pengembangannya. Puas dengan jawaban tersebut. BOD melanjutkan dengan visi dan misi bisnis remaja tersebut.

Dengan sangat antusias remaja itu memaparkan bahwa majalah student hanyalah salah satu entry bisnisnya. Dia ingin mengembangkan Student menjadi sebuah Brand global yang akan merambah bisnis rekaman, chain store, keuangan, penerbangan, telekomunikasi dan bahkan wisata resort.

Mendengar uraian anak muda ini, BOD terperangah dan menganggap remaja ini sebagai orang yang kurang waras. Deal akuisisipun di batalkan. Melayanglah kesempatan mendapatkan uang ₤ 80,000 poundsterling.

Puluhan tahun kemudian salah satu BOD group media tersebut, Patricia Lambert, menelpon sang remaja dan mengungkapkan penyesalannya kenapa dulu membatalkan akuisisi. Kini bisnis sang remaja sudah menjadi brand global yang sangat disegani. Jenis usahanya merentang dari media, rekaman, chain megastore, telekomunikasi, penerbangan, keuangan, wisata resort, club kebugaran, kereta api, wisata ruang angkasa dan lainnya.

Remaja tersebut bernama Richard Branson. Seorang penderita Dislexia (penyakit kesulitan membaca) dan tidak pernah punya prestasi baik disekolahnya. Brand global yang diusungnya adalah Virgin Group.....

Saat ini nilai bisnis dibawah Virgin Group di prediksi bernilai US $ 12 triliun. Ini penilaian setelah dihantam krisis akhir 2008 lalu. Majalah Forbes tahun 2008 menobatkannya sebagai salah satu orang terkaya dunia dengan estimasti kekayaan bersih US $ 2.4 Triliun.

Virgin Group juga merupakan sponsor utama dari tim pendatang baru ajang Formula One yang cukup fenomenal dengan memenangi beberapa balapan pendahuluan : Brawn GP dengan pembalap Jenson Button & Rubben Barrichello.

Kisah tersebut dimuat dalam buku terbaru Richard Branson : Business Stripped Bare – The Adventure of Global Entrepreneur.

Buku ini mengupas tuntas filosofi bisnis Richard Branson dan Virgin Group. Bagaimana dia membesarkan brand Virgin, melebarkan sayap dari home country, United Kingdom, ke mancanegara. Bagaimana menghandle hambatan dari pesaing pesaingnya di UK, US dan Australia saat mendirikan penerbangan murah Virgin Airways.

Bagaimana kisah kisah kegagalan Virgin Group berkompetisi dengan raksasa minuman dunia Coca Cola dan kegagalan Richard Branson mengakuisisi sebuah lembaga keuangan raksasa inggris Northern Rock yang limbung karena imbas krisi US mortgage tahun 2007 lalu.

Filosofi bisnis Virgin Group pada dasarnya adalah bagaimana memberi nilai tambah secara maksimal pada setiap industri yang dimasukinya sehingga konsumen memperoleh produk atau jasa terbaik atas uang yang mereka belanjakan.

Dalam menjalankan filosofi diatas, Richard Branson membaginya menjadi tujuh bidang yang sangat penting dan merupakan back bone yang menopang roda beroperasinya Virgin Group diseluruh dunia.

Ketujuh bidang tersebut meliputi : People, Brand, Delivery, Learning from Mistake and Setbacks, Innovation, Entrepreneurs & Leaderships, and Social Responsility.

People : finding good people and set them free, key success dalam sebuah bisnis adalah mencari orang yang tepat yang akan menjalankan bisnis tersebut. Menurut Richard Branson, dalam mencari orang yang tepat, patokan utama yang harus dipegang teguh adalah karakter dan integritas, passion terhadap bisnis yang akan dijalani dan open minded terhadap ide ide baru. Skill menjadi prasyarat nomor sekian karena semua skill bisnis bisa di pelajari asal kita punya passion yang besar.

to be continued…

Saturday, May 09, 2009

TDA Goes to Matrade 2009 - story behind the scene


International business matching (IBM) & Malaysian international halal showcase (MIHAS) merupakan gelaran pemerintah Malaysia untuk mendatangkan buyer buyer mancanegara dan mempromosikan produk produk UKM Malaysia ke pasar dunia.

Tahun 2009 adalah tahun keenam di selenggarakannya acara yang cukup sukses mendatangkan buyer mancanegara ini. Bagi komunitas TDA, tahun 2009 ini merupakan tahun kedua ikut berpartisipasi aktif menggelar produk produk dan peluang usaha member TDA yang ada di Indonesia.

Dibalik sukses besar pemerintah Malaysia mendatangkan buyer mancanegara. Saya & tim Oasis Fashion mencoba memotret sisi lain perjalanan teman teman TDA yang mengikuti acara ini. Tentu saja karena saya hanyalah peserta, bukan panitia dari TDA, saya hanya melaporkan sejak keberangkatan dari cengkareng yang kami alami......

Keberangkatan
Kita berangkat menggunakan budget flight Air Asia dengan jadwal jam 07.30 dan diminta berkumpul di airport jam 05.30. Dua jam sebelum keberangkatan untuk memudahkan check in bersama. Artinya buat saya yang tinggal di Bintaro dan mesti menjemput Pak Yanto di BSD harus berangkat jam 04.30, satu jam perjalanan menjelang subuh....taksi sudah saya pesen sebelum tidur utk stand by dirumah jam 04.15.

Namun apa mau dikata, jam 04.00 saya bangun pagi dan cek sms, ada pemberitahuan pesawat di tunda jam 10.45. Sementara taksi sudah menunggu sejak jam 04.15 di depan rumah. Mau membatalkan juga tidak enak dan kalau berangkat diatas jam 07.00 takut kena macet. Akhirnya dengan semangat 45 kita tetep putuskan berangkat pagi jam 05.00 setelah sholat subuh...ternyata sampai bandara sudah ada temen kita yang datang lebih pagi lagi...jam 03.00 dari tambun dan sholat subuh di bandara.

Halo Mas Faif ? gimana rasanya berangkat sambil terkantuk kantuk ? he.he.he ternyata Mas Faif tidak membaca sms dengan teliti, mungkin saking semangatnya mau ke Malaysia....

Lesson learned 1 : cek semua informasi sampai detik terakhir dengan teliti, confirm dan reconfirm kalau di perlukan !

Satu dua jam kemudian peserta lain mulai berdatangan. Dimulai dari temen temen GEC ( Garut Enterpreneur Club ) Pak Ismail, Danang dan Mas Riko...diikuti Ustadz Hertanto dan istri, sang kepala suku Mas Yurisman dan hampir semua rombongan akhirnya sampai....

Tinggal satu orang yang masih belum nongol, masih di bus dan berangkat dari Rawamangun jam 08.00 pagi. Hari senin pula ! Jam macet macetnya Jakarta. Ternyata peserta ini ( M Asrullah ) dari Samarinda dan menginap di rumah Pak Hantiar. Menurut beliaunya saran dari Pak Hantiar berangkat jam 08.00 masih cukup sampai bandara....memang masih cukup tapi sampai bandara jam 10.00, hanya tersisa 45 menit untuk check in bagasi yang berjibun dengan dodol garut, kuku macan, keripik pisang, keripik nangka dan masih harus ngurus bebas fiskal....

Check in imigrasi pesawat sudah mulai boarding..untungnya masih sempet naik pesawat. Hanya tidak dapat paket sarapan dari Air Asia sebagai kompensasi terlambatnya pesawat. Save by the bell..untungnya saya, pak yanto, mas faif, pak hertanto dan mas aris sempet check in duluan...

Lesson learned 2 : Kalo ke bandara, terutama naik bis senin pagi, alokasikan waktu yang cukup. Antisipasi kemacetan dan prosedur check in yang belum kita mengerti. Apalagi buat kepala suku Mas Yurisman, ini pengalaman pertama ke LN kali he.he.he..

Kita sampai terminal budget flight Air Asia jam 14.00 dan segera mencari team Matrade 2009 yang akan menjemput ke hotel. Namun karena pesawat terlambat, bus penjemputan kita di gabungkan dengan delegasi dari Uzbekistan, cuman kita mesti menunggu tiga jam lagi di ruang tunggu Air Asia (untungnya delegasi dari Uzbekistan cantik canti juga, jadi kesel terlalu lama menunggu terhapuskan..he.he.he.).

Terpaksa melewatkan lunch dengan Dodol Garut Picnic dan kuku macan....barang pameran dibuka satu pack untuk makan siang rombongan....

Musibah kecil beruntun menimpa salah satu peserta dari Garut Enterpreneur Club ( Bpk Ismail) ; paspor tidak dicap imigrasi Jakarta, HP hilang di pesawat, kunci koper bagasi tidak bisa dibuka karena mungkin koper dibanting dan kebentur di gemboknya.

Lesson learned 3 : Watch your belongings dan recheck everything !

Delegasi Jakarta sampai hotel jam 18.00 dan briefing dari Mbak Deasy – Matrade. Semua sudah pengen ngamar, mandi dan jalan jalan. Acara bebas kemana suka asal bisa pulang ke hotel dengan selamat.

Rombongan saya (Pak Faif, Pak Yanto, Pak Hertanto & Istri) melewatkan malam pertama di Malaysia jalan jalan ke Bukit Bintang naik MRT ke Titiwangsa (RM 1.2) dilanjut monorail (RM 1.2). Menikmati malam di pedestrian walk Bukit Bintang, melihat lihat musik jalanan dan dinner dengan Nasi Lemak..wow nikmat nian rasanya

Someday saya mesti ngajak anak istri jalan jalan ke sini...suasananya mirip mirip di pedestrian walk Swanston street Melbourne dan Nanning, Guan Xi...cuman dalam skala yang lebih kecil.

Kapan ya Jakarta punya pedestrian walk kayak gini ? mungkin setelah proyek Ciputra di sepanjang mall ambassador jadi kali ya ?

Day 1
Jadwal IBM Oasis tidaklah terlalu padat, hanya meeting dengan tiga seller Malaysia. Satu menawarkan batik kontemporer label Pink Jambu, yang kedua produsen underwear dg label Private Structure, yang terakhir fashion designer dengan label cukup terkenal di Malaysia.

Yang terakhir orangnya mirip mirip desainer kita Adji Notonegoro, dia paling lama bicara dengan kita dan terus lirak lirik Pak Yanto yang kumis dan jenggotnya kayak Freddy Mercury...saya jadi serem takut temen saya ditaksir orang dan gak boleh pulang ke Indonesia...walah walah walah...panitia MIHAS mesti tanggungjawab kalo ini terjadi...

Malamnya kembali kita berpusing pusing keliling KL. Kali ini dengan rombongan yang lebih besar ( Saya, Pak Hertanto & Istri, Pak Aris Permana & Istri, Mas Faif, Pak Yanto, Mas Yurisman dan Mas Asrullah). Tujuan perjalanan : Menara Petronas !

Dari Hotel Legend tempat kami menginap, naik MRT ke Masjid Jameek (RM 1.4), ganti jalur ke arah KLCC ( Kuala Lumpur Convention Centre) (RM 1.2).

Dari stasiun bawah tanah langsung connect ke Suria Mall. Kita jalan jalan dan menuju taman air mancur didepan menara kembar Petronas. Sebagai acara wajib member TDA adalah foto foto sebanyak mungkin untuk narsis di facebook. Saya lihat Direktur TDA Pak Hertanto dan Mas Faif paling semangat foto dengan berbagai gaya dan lokasi ha.ha.ha ( Upload foto terpisah dari laporan pandangan mata ini ).

Dinner di food court Suria Mall. Aneka pilihan makanan dengan budget RM 10 sudah kenyang dan enak. Beberapa penjaganya orang Surabaya. Pak Yanto sangat antusias ketemu saudara saudaranya dari Indonesia. Saya curiga beliau sedang ngompor ngomporin mereka untuk bikin TDA Malaysia dan segera membentuk Mastermind. Biar Pak Yanto ada alasan untuk sering sering ke Malaysia membina Mastermind disana...he..he..he..

Lesson learned 4 : Dimana ada komunitas Indonesia cukup banyak. Mari kita bentuk TDA dan buat mastermind...Pak Yanto siap coaching dimanapun Anda berada ...!

Kami sampai hotel kembali jam 11.00 dan saya harus segera nabung tidur untuk bangun lagi menyaksikan MU vs Arsenal jam 02.45 waktu KL... thanks God ! akhirnya MU lolos ke final... CR7 memang top markotob

Day 2
Hari kedua IBM kami dijadwalkan untuk bertemu dengan dua seller Malaysia. Satu adalah Zinni Group SDN BHD dan Kenko Real Organic SDN BHD. Ternyata keduanya tidak datang, kami komplain dan protes ke panitia Matrade. Tahu dari awal gak dateng kan kita bisa jalan jalan lagi mengexplore peluang bisnis di sini.

Menurut Mas Faif yang hari pertama sudah ketemu Zinni Group. Perusahaan ini adalah pemilik beberapa toko busana di Malaysia. Mereka sudah terbiasa mengambil produk produk garment berupa kerudung dan baju wanita dari Indonesia. Pemiliknya rutin sebulan sekali ke Tanah Abang tercinta. Jangan jangan dia lebih hafal lorong lorong tanah abang daripada kita.

Hari kedua juga di tandai hilangnya pemilik Kafana Distro dari stand IBM. Maklum dia tidak ada jadwal ketemu seller. Ternyata pagi pagi sudah meluncur ke Menara Petronas. Melampiaskan rasa penasaran semalam untuk naik ke tingkat paling atas.

Dilanjutkan ke Genting Higlands mencoba peruntungan, sapa tahu menang besar. Hebatnya saking semangatnya jalan jalan, semua dilakukan sendirian..ha..ha..ha.. Apa enaknya jalan jalan sendiri Pak ?

Saya menggunakan kesempatan yang ada untuk mengeksplore stand di Mihas 2009 sambil menanti jamuan dinner yang diselenggarakan panitia. Peserta pameran lebih dari 500 an booth dari 29 negara.

Saya lihat booth dari Indonesia di wakili oleh : Komunitas TDA, Garut Enterpreneur Club, Wardah Cosmetics, Dodol Mubarok dan Pemda Lampung. Hanya lima booth dari Indonesia. Negara Negara lain dengan booth yang cukup menarik adalah Palestina dengan booth yang menawarkan aneka keramik dan kurma. Booth Iran menawarkan saribuah halal yang dikemas seperti botol wine yang sangat cantik.

Booth Cina kebanyakan diwakili propinsi propinsi Cina selatan yang banyak penduduk muslimnya seperti Xin Jiang dll. Rata rata menawarkan aneka herbal, madu dan mesin pemotong hewan secara halal.

Dinner diselenggarakan dengan acara yang cukup meriah. Diiringi tari tarian traditional Malaysia. Namun saya tidak bisa membedakan dimana aspek traditionalnya wong semua tarian sama dengan tarian padang dan aceh. Apalagi diiringi musik … diding ba diding oiii..diding ba diding…ini mah di Indonesia juga banyak ya ? Ya memang bangsa serumpun ya, jadi harap maklum kalo banyak kesamaan.

Sehabis dinner jam 20.00 kami pulang ke Hotel. Saatnya bagi saya untuk istirahat. Tenggorokan sudah mulai sakit mau terserang flu. Sementara nanti malam juga masih harus menyaksikan laga Chelsea Vs Barca. Saya minum panadol flu dua sekaligus, biar cepet bisa tidur dan bangun malamnya.

Thanks God. Barca yang lolos. Kemenangan Sepakbola indah, cantik dan menyerang. Fighting spirit till the last drop. Persistensi sampai titik darah penghabisan. Sebuah pelajaran perjuangan tidak kenal lelah yang bisa diaplikasikan dalam kehidupan.

Juga pelajaran musibah membawa berkah asal dimaknai dengan positif. Musibah di kartu merah nya Abidail di menit 70 an membuat Chelsea merasa diatas angin dan mulai berani menyerang. Otomatis pertahan mereka juga mulai terlihat lubang lubang kelemahan.

Sementara bagi Barca, walau dengan 10 pemain tetap tidak mengendorkan permainan mereka untuk terus istiqomah memainkan sepakbola menyerang. Perjuangan membawa hasil. Hanya dalam waktu kurang dari 2 menit pertandingan selesai dimasa injury time. Sebuah gol tercipta untuk Barca. Sejarah berhasil dibalikkan. Suka cita bergemuruh di Barcelona. Duka cita dan air mata banjir di London…

Sorry buat fans Chelsea. Walau tim anda sebenarnya berhak untuk dapat minimal dua tendangan penalty. Wasit memang kurang teliti……lho ini kok malah ngelantur bola ? he.he.he

Lesson learned 5 : Jangan pernah menyerah atas apapun yang sedang Anda perjuangkan dalam hidup. Berjuang sampai titik darah penghabisan. Persistensi seperti ini yang masih sulit saya dalami…

Day 3
Acara utama hari ketiga adalah opening ceremony by PM Malaysia Datuk M Najib Bin Tun Abdul Razak. Yang membuat saya salut adalah sang PM datang ke acara mengendarai mobil kenegaraan merk Proton Perdana. Bukan Mercedez S500 ataupun Volvo seperti yang biasa dipakai pejabat tinggi kita. Bukan pula Camry jatah para menteri di Indonesia.

Ini refleksi cinta produk dalam negeri. Satunya kata dan perbuatan. Saya jadi ingat razia sepatu yang sering dilakukan Pak Wapres terhadap pejabat pejabat lain yang ditemuinya. Its good start Pak ! coba jatah mobil diganti juga.

Lesson Learned 6 : Cintailah produk dalam negeri. Slogan ini harus dimulai dari para pemimpin. Jangan rakyat terus yang disuruh cinta produk dalam negeri sementara pemimpinnya asyik dengan barang barang mewah buatan luar negeri. Inget berita antrian panjang empat jam hanya untuk mendapatkan diskon 70% sepatu Crocs membuat saya meringis sedih dalam hati… what a mess country !

Jam 12.00 ceremony sudah selesai. Lihat lihat pameran juga sudah kami lakukan.

The next destination is exploring Genting Highlands, try our luck. Sebuah kota khusus dimana perjudian dilegalkan (ingat, dilegalkan ya ! bukan dihalalkan). Kota mini yang sangat cantik di atas pegunungan. Kira kira 800 m diatas permukaan laut dan diselimuti kabut tebal. Kami bertiga ( saya, pak yanto dan mas asrullah ) menuju ke sana dengan semangat 45.

Genting Highlands bisa dicapai dari beberapa stasiun kereta dan bis di KL. Yang sudah kami coba adalah dari stasiun KL Centre. Satu jam perjalanan ke pinggiran KL dengan tiket RM 3.3. Lumayan murah dan bis nya nyaman dengan AC dan reclining seat.

Tiba dikaki gunung kami naik Sky Way (kereta gantung) yang panjangnya 3.4 km dan ketinggian mendaki 800 m. Jauh lebih panjang dan lebih tinggi dari yang kita miliki di Ancol maupun Taman Safari. Dibawahnya terbentang hutan tropis muda dengan kerapatan sedang. Sementara di puncak diselimuti kabut samar samar terlihat pusat kota. Hotel hotel, aneka wahana permainan dan arena perjudian.

Tarif Sky Way cuman RM 5. Sangatlah murah dibanding kepuasan yang didapat. Waktu tempuh dari kaki gunung ke puncak sekitar 25 menit. Kami naik sekitar Jam 15.00 masih sore dan terang untuk bisa melihat semua pemandangan yang terbentang dibawah. Turun jam 19.30 malam hari. Semua sudah diselimuti kabut yang terlihat hanyalah kelap kelip menara Sky Way dan kabut tebal disekeliling kita. Dingin dengan suhu 15 – 19 derajat.

Saran saya kalau ke Genting Highlands, berangkatlah pagi hari dan pulang malam hari sehingga semua suasana pemandangan bisa kita nikmati. Atau kalo waktu Anda cukup menginaplah disana. Kehidupan berderak 24 jam penuh.

Empat jam kami habiskan untuk mengeksplore area Genting Highlands. Pada dasarnya area dibagi menjadi arena per hotelan, arena casino dan perjudian, arena wahana permainan dalam ruang dan area wahana permainan luar ruang.

Kami tidak mengeksplore lebih lanjut di arena casino. Karena tampang tampang seperti kami ini pasti sudah sangat di kenali oleh para penjaganya. Tampang orang yang bekalnya pasti tipis dan tidak akan menghabiskan uang untuk berjudi. Hanya lihat lihat sekilas di lobby. Hampir 90% pengunjung Casino yang kami temui adalah orang keturunan China, entah dari Negara manapun mereka berasal. Beberapa kami temui India dan Arab, lengkap pula dengan kafiyeh nya..he..he..he

Wahana permainan sangatlah lengkap seperti yang ada di Ancol. Dari mulai arung jeram mini, roller coaster, rumah salju, kereta gantung, rumah hantu dan lainnya. Hebatnya semua di sediakan di dua tempat. Dalam ruangan dan luar ruangan. Bisa anda bayangkan segede apa gedungnya untuk menampung semua wahana dalam ruangan itu ?.

Untuk urusan makanan anda tidak perlu khawatir. Makanan standard apapun yang bisa anda temukan di Jakarta bisa ditemukan disini. KFC, Pizza Hut, Kings Burger, McDonald dan Chinese food yang cukup banyak. Untuk kehalalan juga tidak ada masalah. Hampir semua restoran menempel sertifikat halal di kaca atau dindingnya. Kapan di Indonesia bisa begini ya ?

Tempat nongkrong juga banyak. Anda bisa pilih kedai kopi Starbucks, Coffee Bean atau kedai lokal lainnya. Sayang koneksi internet kurang bagus, sinyalnya lemah dan sering putus. Apa karena di ketinggian dan area terpencil ya ? seharusnya nggak dong.
Harga harga juga standar sama dengan di Plaza Senayan, Senayan City atau Citos. Jadi anda tidak perlu khawatir kehabisan bekal.

Souvenir dan aneka toko pakaian branded juga lengkap. Bagi anda yang gemar shopping atau habis menang judi, jangan khawatir tidak bisa menghabiskan uang anda..ha..ha..ha

Walaupun pada dasarnya Genting Higlands ini arena perjudian. Namun sangat cocok juga buat anak anak. Karena wahana permainan yang sangat lengkap, makanan yang mudah dan standard, dan hotel hotel yang banyak. Cocok buat family holiday. Mungkin yang ada di planning pembuatnya adalah manjakan anak anaknya biar orang tua nya betah berlama lama di meja judi..ha..ha..ha..

Kami nyampai hotel jam 11.00 setelah sebelumnya menikmati dinner yang terlambat disebuah kedai kecil dipinggir jalan. Menu utama nasi Biryani dan Teh Tarik. Ternyata menu pinggir jalan jauh lebih enak dari menu standard hotel dengan harga yang lebih ekonomis pula.

Demikian laporan ringkas perjalanan mengikuti Matrade 2009. Semoga berguna buat teman teman yang akan mengikuti Matrade 2010 atau yang sudah ikutan dan pengen ikut lagi.

Sesuai dengan semangat komunitas TDA. Berbisnis itu fun, maka nikmatilah perjalanan perjalanan bisnis Anda untuk tetap menjaga spirit dan passion bisnis kita.

Salam sukses penuh berkah ! Go Triple

The Legend Hotel
Jalam Putera 100, Kuala Lumpur
Jum’at, 8 Mei 2009

Oasis Fashion Go Global : lesson learned from MIHAS 2009


Apa yang akan terjadi bila ribuan buyer dan seller mancanegara berkumpul bersama dalam suatu trade exhibition ? Pasti akan terjadi pertukaran informasi, sharing produk dan jasa, ATM produk & jasa unggulan dan syukur syukur terjadi transaksi transaksi besar disana.

Itulah yang kami ( Oasis Fashion ) alami dalam ajang The 6th Malaysia International Halal Showcase 2009 ( MIHAS 2009 ). Sebuah event besar yang diselenggarakan oleh pemerintah Malaysia untuk mendorong ekspor produk produk Malaysia ke mancanegara. Kami mengikuti acara ini dengan puluhan temen yang tergabung dalam Komunitas Tangan Di Atas ( TDA Community ) dari beragam bisnis.

Bertempat di Matrade Exhibition & Convention Center dan berlangsung dari tanggal 4 – 10 May 2008. Ribuan buyer mancanegara berkumpul disana. Mostly dari negara negara Asia dan Afrika, termasuk beberapa negara pecahan Uni Soviet seperti : Uzbekistan, Kazakhstan, Armenia, Tajikistan, Rusia dan lainnya, serta beberapa delegasi dari Eropa Timur seperti : Bulgaria, Bosnia, Rumania dan Kosovo.


Hampir semua delegasi disediakan akomodasi hotel bintang 4 secara gratis, fasilitas makan dan antar jemput dari bandara, hotel dan lokasi exhibition. Acara ini menunjukkan keseriusan pemerintah Malaysia dalam memberi dukungan pada pelaku wirausaha di negaranya. Saya yakin, biaya yang dikeluarkan sangatlah besar mendatangkan ribuan buyer manca negara dalam event ini. Namun pastilah manfaat yang bisa dipetik dan multiplier efek bagi produk produk Malaysia juga tidak kalah besarnya....

Multiplier efek dari terserapnya produk produk Malaysia sangatlah panjang, industri tetep berjalan, tenaga kerja terserap, institusi keuangan juga bergerak. Walaupun kita semua tahu sebagian tenaga kerja itu juga saudara saudara kita dari Indonesia...membaca salah satu artikel di strait times, pengusaha malaysia mulai mengeluh karena pemulangan TKI asing (indonesia, india, srilanka dll) membawa dampak bagi naiknya biaya produksi dan menurunnya produktivitas. Sudah menjadi rahasia umum kalau tenaga kerja lokal malaysia menuntut gaji yang jauh lebih tinggi dan tidak terlalu rajin bekerja....

Mencermati agenda agenda pertemuan yang sudah di set secara apik, match making antara potential buyer (peserta mancanegara) dan seller ( UKM Malaysia), kita bisa belajar bahwa ternyata produk produk yang ditawarkan oleh UKM Malaysia tidak lebih baik dari produk produk yang kita temui sehari hari di Indonesia, terutama untuk industri fashion dan handy craft, batiknya pun menurut saya kalah jauh dengan batik kita (sudut pandang yang bias dari orang pekalongan seperti saya..he..he..he ).

Namun kenapa mereka bisa leading di banyak sektor di banding kita ? pengamatan sekilas adalah kesadaran akan branding untuk produk produk mereka, di kombinasikan dengan packaging yang ciamik. Hal lain adalah begitu percaya diri nya pelaku usaha Malaysia akan produk produk mereka sendiri. Faktor lain tentu adalah dukungan all out dari pemerintah...!

Walaupun puluhan tahun lalu pemerintah malaysia belajar hampir semua hal dari kita, sudah saatnya kita untuk tidak malu malu belajar dari malaysia saat ini. Pemerintah pun perlu mencontoh bagaimana dukungan pemerintah malaysia pada pelaku usahanya.

Saya yakin, kalau kita mau sedikit berendah hati untuk belajar kembali, memiliki pemerintah yang pro bisnis, akan datang saatnya Indonesia menjadi bangsa yang disegani di level Asia bahkan dunia...!

Friday, May 01, 2009

Entrepreneurs Who Rose From The Ashes


A word of encouragement for all the entrepreneurs (and every other working stiff, for that matter) scrapping it out in the latest downturn: Recessions--for all the havoc they wreak--can also sow the seeds of serious fortunes.

"At a basic level, there is an important job or problem that customers can't do or solve for themselves," says Scott Anthony, president of Innosight, a Watertown, Mass.-based innovation strategy consultancy. "The best chance of creating something powerfully profitable is starting with an important, unsatisfied problem."

The nice thing about those problems is that they exist in every economic climate--and that means constant opportunities for the entrepreneurs and financiers with enough foresight, conviction and capital to nab them.

For inspiration, we flipped back through 200 years worth of U.S. recessions and found plenty of savvy entrepreneurs who did just that.

Take Charles Wiley, who opened a small print shop in lower Manhattan in 1807--the same year the U.S. Congress, provoked by a British warship that opened fire off the coast of Norfolk, Va., passed an embargo preventing American ships from landing at foreign ports unless authorized by President Thomas Jefferson himself.

The economic warfare triggered a painful, seven-year recession, but Wiley soldiered on, partnering with Cornelius Van Winkle, a more established Manhattan printer. The two hosted a meeting place for famous scribes like James Fenimore Cooper and William Cullen Bryant and published future legends Edgar Allen Poe and Washington Irving.


The company eventually expanded into textbooks and other higher-margin titles. Headquartered in Hoboken, N.J., John Wiley & Sons now boasts a $2 billion market capitalization on the New York Stock Exchange.

The Panic of 1907 didn't have Charles Russell Bard running for cover. An American importer of French silks, Bard began importing and distributing urethral catheters--a tool used to relieve urinary discomfort. He later expanded his line to include cardiological, radiological and medical products. C.R. Bard's current market cap: $8.7 billion.

In 1918, at age 26, Cornelius Vander Starr left his job peddling auto insurance in California to clerk for the Pacific Mail Steamship Company in Yokohama, Japan. Later that year, he moved to Shanghai where he worked for several insurance firms.


In 1919, as a three-year, post-World War I recession gripped the West, Vander Starr founded an insurance firm called American Asiatic Underwriters--now known as American International Group, the giant insurer near the center of the latest global financial crisis. At the time of this writing, the U.S. government had announced a bailout package worth $150 billion to keep AIG afloat.

Even the decade-long Great Depression (1929-1939) couldn't derail Drs. Ralph Falk and Donald Baxter, two entrepreneurial physicians from Iowa who saw an opportunity to bring intravenous medical treatments to the masses. At the time, only major research institutions had the resources and equipment needed to inject a stream of medicine directly into a person's veins.

The doctor duo launched the Don Baxter Intravenous Company in 1931 and began mass production in Glenview, Ill., in 1933. Today, Baxter International, headquartered in nearby Deerfield, Ill., develops everything from pharmaceuticals and dialysis machines to cardiovascular and anesthetic equipment. Baxter's recent market value: $37 billion.

In late 1953, as the Korean War drew to a close and consumers felt the pinch of higher taxes used to fund Cold War military spending, the first issue of Playboy magazine went to press (without a date). Its creator, Hugh Hefner, envisioned a rag with the same flashy elements of his former employer Esquire but with a naughty twist: photographs of beautiful nude women.

When Hefner's boss at Esquire refused to give him a five dollar raise, Hef quit and hit up his friends to help design a new magazine in exchange for slices of equity. He worked odd jobs during the day and pawned his possessions to make ends meet. Today, the Playboy empire, now run by Hefner's daughter Christine, includes TV, books, calendars and, of course, the flagship magazine.

The troubled 1970s--a period marked by nasty "stagflation" (high inflation and stunted growth) in the U.S.--also yielded a host of titans, including Southwest Airlines, FedEx, Microsoft and Oracle.

Count John Sperling in that group, too. A professor at San Jose University, Sperling noticed an interesting demographic shift: More adult students were retuning to school to change careers. But when he approached the school about starting an adult education program, San Jose said no thanks.

So, in 1973, in the teeth of a recession, Sperling launched Apollo Group to license course materials to traditional universities. When conventional nonprofit colleges griped about his for-profit model, he switched gears and opened the University of Phoenix, the first for-profit accredited university, with a class of eight students. Apollo Group, based in Phoenix, now has 90 campuses across the U.S. and a $10.6 billion market cap.

Remember: There's always a problem that needs solving. And that applies to recessions, too


How Self-Made Titans Got Their Starts


Baru baru ini ramai di milis TDA di bicarakan mengenai topic bagaimana mendapatkan modal untuk memulai usaha ? apakah sebaiknya melalui modal sendiri ? pinjaman keluarga ? pinjaman dari Bank ? atau membentuk partnership dengan pihak pihak yang memiliki modal atau investor ?

Masing masing opsi memiliki kelebihan dan kelemahan masing masing, juga tingkat resiko yang berbeda beda…menurut saya semua conditional… tergantung dari dari bisnis apa yang akan kita jalankan dan bagaimana tingkat resiko atau kepastian keberhasilan dari bisnis tersebut

Saya menemukan sebuah artikel menarik dari majalah forbes edisi terbaru. Salah satu artikelnya mengupas topic bagaimana para pebisnis sukses Amerika memperoleh modal saat pertama kali memulai usaha…

Beberapa pebisnis sukses yang dikupas antara lain; John Catsimatidis, pemilik Red Apple Group yang memulai usahanya dengan memperoleh bagi hasil dari pemilik toko retail dimana dia bekerja. Bekerja sejak lulus SMA dan menjelang umur 20 tahun sudah memperoleh bagi hasil $ 500 per week.
Pada umur 25 tahun dia sudah memiliki 10 toko dengan penjualan $ 25 juta dan net income $ 1 juta. Asyiknya lagi bebas dari hutang.. !

Lain lagi dengan Sandy Weill, mendirikan usahanya dari hasil menabung saat bekerja di Bear Stern. Dengan modal $ 200,000 patungan bersama dua temennya yang lain mereka mendirikan Carter, Berlind & Weill yang merupakan cikal bakal The Traveller Group. Traveller Group belakangan merger dengan Citicorp dan membentuk Citigroup…

Menariknya berdasarkan sebuah survey Biro Sensus di Amerika yang dilakukan pada tahun 2002. Dari 16 juta pemilik usaha ternyata 55% modal awalnya berasal dari tabungan atau didanai keluarga, 11.4% dari pinjaman Bank dan 8.8% dari pinjaman pribadi atay kartu kredit. Sedangkan sisanya dari pemerintah atau investor….

Artikel selengkapnya dapat anda baca dibawah ini......
Entrepreneurs : by Melanie Lindner

Capital is a constraint for many would-be entrepreneurs--or is it?

Scan the Forbes list of the world's richest people and you'll come across moguls from startlingly humble origins.

How did they get their impressive empires off the ground? Sweat, savings, schmoozing, creativity and a dab or two of good fortune.

To be fair, the lucky few "born on third base" probably have a better shot at stardom than those without a safety net.

According to a 2002 U.S. Census Bureau survey representing some 16 million business owners, a whopping 55% were initially funded by personal and family capital. Just 11.4% snagged bank loans and 8.8% got going on personal and business credit cards; much of the remainder lived on government loans and outside investors.

Some world-beating entrepreneurs--like John Catsimatidis, owner of the Red Apple Group and aspiring mayor of New York City--scared up capital by getting to know the right people.

The son of a busboy, Catsimatidis entered the grocery industry in the summer of 1966, just after graduating from high school. Befriending the owner of a Manhattan superette, he started taking on more responsibilities. Four years later, the owner offered him a 50% stake in one of his stores, to be acquired over 10 months at a rate of $1,000 per month.

Within a few months, the store's sales doubled, and Catsimatidis was earning a profit of $500 per week (not bad for a 20-year-old back then). After dropping out of New York University just eight credits shy of a degree, he launched his own grocery chain, the Red Apple Group. Lacking working capital for inventory, Catsimatidis charmed vendors to let him buy on credit, something he says "would never happen today." By the age of 25, he owned 10 stores--debt-free--netting a combined $1 million on $25 million in sales. Today the Red Apple empire includes Gristede's, Sloan's and Red Apple.

While Catsimatidis struck out on his own early, others, like Sandy Weill, saved their pennies before taking the plunge. Born in Brooklyn, N.Y., to Polish immigrants in 1933, Weill graduated from Cornell on scholarship before working as a runner for Bear Stearns and nabbing his stockbrokers' license at night.

A few years later, in 1960, he and three friends pooled their savings--an estimated $200,000--and opened their own brokerage firm, called Carter Berlind and Weill. Two decades of acquisitions later, their Travelers Group was the industry's second-largest brokerage, trailing only Merrill Lynch. In 1998, Travelers Group merged with Citicorp to make what is now known as Citigroup.

Old fashioned bartering helped put Kirk Kerkorian, farmer's son and future Wall Street titan, on the map. In the late 1930s, Kerkorian offered to look after famous female aviator Pancho Barnes' cattle in return for flying lessons.

During World War II, he took a job with the Royal Air Force transporting planes from their Canadian factory to England at $1,000 per month--an especially treacherous journey as the planes weren't designed to withstand the long trip or the harsh weather over the North Atlantic.
With savings from his wartime job, Kerkorian purchased Trans International Airlines for $60,000 in 1947. (It is unclear as to whether he needed additional financing.) He later sold it to Transamerica for $104 million in stock, used to fuel further investments. His private investment firm, Tracinda, now owns 53% of MGM Mirage.
Sometimes sheer talent and persistence is enough. As a single mother on welfare in Scotland, J.K. Rowling began writing the first Harry Potter novel in Edinburgh cafés whenever she could get her infant daughter to sleep.

After being rejected by 12 publishing houses, Bloomsbury, a small publisher in London, offered an advance of 1,500 pounds (about $2,400)--even while one its editors, Barry Cunningham, advised Rowling to get a day job.
Good thing she didn't listen: The following year, U.S. publishing rights to the first Potter book sold for $105,000. Rowling has since moved nearly 400 million copies worldwide, and is the only author on our list.

http://www.forbes.com/2008/06/03/citigroup-harry-potter-ent-fin-cx_ml_0603titanfinancing.html