Britain Rule the Waves ! Begitu semboyan kerajaan Inggris raya abad ke 19. Semboyan itu masih relevan hingga sekarang. Namun dalam kancah yang berbeda. Kancah sepakbola dunia.
Hampir seluruh bintang top dari berbagai penjuru dunia merumput di Liga Inggris. Liga terbaik dan paling menguntungkan saat ini.
Ajang kompetisi Liga Champion membuktikannya. Kompetisi antar juara liga Eropa ini menempatkan tiga tim Inggris dalam semifinal dan sesama tim Inggris dalam final yang di gelar semalam. Manchester United vs Chelsea.
Walau sangat terkantuk kantuk karena jadwal pertandingan yang tidak bersahabat. Saya harus sempatkan menonton. Hanya setahun sekali pertarungan final Liga Champion bisa ditonton. Dan belum tentu sepuluh tahun sekali final sesama tim Inggris bisa terulang.
Menyaksikan pertandingan semalam ibarat menyaksikan pertempuran dahsyat di medan perang. Kedua Jenderal beradu strategi dan prajurit prajurit dengan fighting spirit yang nggilani menampilkan kemampuan terbaik mereka.
Bagi saya kedua tim adalah pemenang. Ronaldo, seperti biasa, mencetak gol indah untuk MU di menit ke 26. Namun Chelsea juga tidak pernah mengendorkan irama permainan untuk mencoba meyamakan kedudukan. Gol balasan itupun lahir melalui kaki Frank Lampard hanya beberapa detik menjelang babak pertama usai. Fighting spirit memang tidak boleh kendor sampai peluit panjang berbunyi.
Pertandingan babak kedua tidak menghasilkan gol. Begitu juga perpanjangan waktu 2x15 menit tidak merubah kedudukan 1 – 1. Dan drama kehidupanpun kembali tampil dalam bentuknya yang lain.
Ironi Ronaldo dan John Terry
Adu penalti hanya memperpanjang masa penantian sang juara. Detik detik sangat mendebarkan. Bahkan Abramovich, juragan Chelsea, yang dalam hidupnya pasti terbiasa dengan deal bisnis jutaan dolar terlihat gelisah di kursinya.
Tendangan ketiga MU seolah membuka peluang Chelsea untuk juara. Ronaldo, top scorer liga inggris, pemain terbaik Eropa dan pencetak gol satu satunya MU gagal mengeksekusi penalti. Peter Cech dengan sangat akurat memblok tendangannya. Lebih tepatnya memblok dengan separuh dada dan lehernya.
Pendukung Chelsea pun bersorak seolah olah piala sudah di genggaman. Namun John Terry gagal menceploskan bola ke gawang Van der Sar. Sang kapten grogi mungkin karena sebelum pertandingan sudah melancarkan perang urat syaraf untuk mengambil alih ban Kapten Tim Nasional Inggris dari Rio Fredinand, kapten MU.
Kedudukanpun menjadi imbang 4 - 4
Dosa Anelka
Anelka merupakan penendang ke tujuh Chelsea. Entah sejak menit keberapa pemain bengal ini masuk. Namun dia lah pencipta drama yang sebenarnya. Tendangannya di blok dengan brilian oleh Van der Sar dan airmata puluhan ribu pendukung Chelse pun runtuh. Mimpi Abramovich untuk menggenggam piala Champion di tanah kelahirannya pun musnah.
Permainan tetaplah permainan. Bisnis tetaplah bisnis. Drama tetaplah drama. Siapapun pemenangnya tahun depan kita saksikan permainan yang sama, bisnis yang sama dan drama yang sama. Hanya pemerannya boleh berganti ganti atau bahkan bertukar tempat. Pelatih boleh datang dan pergi. Pemain boleh silih berganti.
Namun permainan haruslah tetap indah. Fighting spirits haruslah tetap menjadi jiwa permainan ini.
Ajang kompetisi Liga Champion membuktikannya. Kompetisi antar juara liga Eropa ini menempatkan tiga tim Inggris dalam semifinal dan sesama tim Inggris dalam final yang di gelar semalam. Manchester United vs Chelsea.
Walau sangat terkantuk kantuk karena jadwal pertandingan yang tidak bersahabat. Saya harus sempatkan menonton. Hanya setahun sekali pertarungan final Liga Champion bisa ditonton. Dan belum tentu sepuluh tahun sekali final sesama tim Inggris bisa terulang.
Menyaksikan pertandingan semalam ibarat menyaksikan pertempuran dahsyat di medan perang. Kedua Jenderal beradu strategi dan prajurit prajurit dengan fighting spirit yang nggilani menampilkan kemampuan terbaik mereka.
Bagi saya kedua tim adalah pemenang. Ronaldo, seperti biasa, mencetak gol indah untuk MU di menit ke 26. Namun Chelsea juga tidak pernah mengendorkan irama permainan untuk mencoba meyamakan kedudukan. Gol balasan itupun lahir melalui kaki Frank Lampard hanya beberapa detik menjelang babak pertama usai. Fighting spirit memang tidak boleh kendor sampai peluit panjang berbunyi.
Pertandingan babak kedua tidak menghasilkan gol. Begitu juga perpanjangan waktu 2x15 menit tidak merubah kedudukan 1 – 1. Dan drama kehidupanpun kembali tampil dalam bentuknya yang lain.
Ironi Ronaldo dan John Terry
Adu penalti hanya memperpanjang masa penantian sang juara. Detik detik sangat mendebarkan. Bahkan Abramovich, juragan Chelsea, yang dalam hidupnya pasti terbiasa dengan deal bisnis jutaan dolar terlihat gelisah di kursinya.
Tendangan ketiga MU seolah membuka peluang Chelsea untuk juara. Ronaldo, top scorer liga inggris, pemain terbaik Eropa dan pencetak gol satu satunya MU gagal mengeksekusi penalti. Peter Cech dengan sangat akurat memblok tendangannya. Lebih tepatnya memblok dengan separuh dada dan lehernya.
Pendukung Chelsea pun bersorak seolah olah piala sudah di genggaman. Namun John Terry gagal menceploskan bola ke gawang Van der Sar. Sang kapten grogi mungkin karena sebelum pertandingan sudah melancarkan perang urat syaraf untuk mengambil alih ban Kapten Tim Nasional Inggris dari Rio Fredinand, kapten MU.
Kedudukanpun menjadi imbang 4 - 4
Dosa Anelka
Anelka merupakan penendang ke tujuh Chelsea. Entah sejak menit keberapa pemain bengal ini masuk. Namun dia lah pencipta drama yang sebenarnya. Tendangannya di blok dengan brilian oleh Van der Sar dan airmata puluhan ribu pendukung Chelse pun runtuh. Mimpi Abramovich untuk menggenggam piala Champion di tanah kelahirannya pun musnah.
Permainan tetaplah permainan. Bisnis tetaplah bisnis. Drama tetaplah drama. Siapapun pemenangnya tahun depan kita saksikan permainan yang sama, bisnis yang sama dan drama yang sama. Hanya pemerannya boleh berganti ganti atau bahkan bertukar tempat. Pelatih boleh datang dan pergi. Pemain boleh silih berganti.
Namun permainan haruslah tetap indah. Fighting spirits haruslah tetap menjadi jiwa permainan ini.
No comments:
Post a Comment