Bagi sebagian besar kita yang dari kecil hidup di kota, mungkin kata ‘singkong’ hanyalah ada dalam nyanyian atau percakapan guyonan saja. Seperti apa pohon dan buahnya, mungkin tidak pernah terbayang di benak kita, apalagi bagaimana singkong di budidayakan dan diproses untuk industri. Baik itu industri tepung, maupun trend baru, sebagai bahan baku Bio Etanol, bahan bakar ramah lingkungan. Sejak harga minyak melampaui $60/barrel, kalangan industri dan pemerintah berusaha ramai-ramai untuk mencari energi alternative yang bisa menggantikan minyak, yang sampai blog ini ditulis harganya sudah memroket mendekati $ 100/barrel. Belum lagi kekhawatiran akan semakin menipisnya cadangan minyak dunia dan naiknya suhu bumi akibat pemanasan global.
Bio Ethanol, sebagai bahan energi alternative rame dibicarakan, digadang-gadang dan dibedah di forum-forum bak selebritis….baik karena harganya yang lebih murah, ramah lingkungan, maupun bahan baku-nya yang membludak dan sangat potensial untuk di kembangkan di Indonesia…..yaitu: tebu, singkong, sawit, jarak pagar dan lainnya.
Saya hanya bermaksud mengupas tentang singkong di sini, sesuai dengan pemahaman saya sebagai salah satu karyawan dalam perusahaan yang sedang giat bermitra dengan petani untuk menanam singkong di Lampung.
Pertanyaannya…? Apa yang bisa kita manfaatkan dari efek naiknya harga minyak dunia ini…? Tentu energi alternative naik daun dan bahan baku pembuat energi ini juga naik harganya…kenaikan ini ber imbas ke ratusan ribu petani singkong yang dulunya selalu dipermainkan tengkulak dengan harga super murah saat panen raya…..!
Apa kelebihan singkong dibanding tanaman lain sehingga layak untuk dijadikan ladang investasi/usaha kita ..?
Harga yang relative stabil, harga singkong saat ini relative stabil sejak tahun 2005 di angka 400 – 450/kg, ini disebabkan karena singkong banyak di pakai di industri tepung, di Lampung khususnya, dan rumors effect masuknya investor-investor besar ke industri bio etanol. Harga yang stabil dan jaminan market dari industri adalah kunci sukses agro industri, karena harga tidak bakal terjun bebas saat panen raya.
Dapat ditanam sepanjang tahun, bertanam singkong tidak tergantung musim-musim tertentu. Asal ada hujan, walau sedikit, kita bisa bertanam singkong sepanjang tahun sehingga menghindari panen raya yang ekstrim.
Tahan penyakit, dibanding tanaman lain seperti padi, jagung dan coklat, atau bahkan tebu dan karet, bertanam singkong relative aman dari serangan penyakit. Sampai saat ini belum pernah terdengar ada hama singkong menyerang sehingga membuat ratusan hektar tanaman mati. Musuh utama singkong hanyalah babi hutan dan gajah (kalau tanam deket kawasan gajah)
Umur panen relative pendek, tanaman singkong dapat dipanen pada umur 7 – 10 bulan, tergantung jenis/varietas singkong yang ditanam. Singkong Thailand atau adira bisa dipanen 7-8 bulan, sedangkan singkong jenis Kassesart sebaiknya dipanen setelah umur 10 bulan, karena kadar tepungnya sudah cukup tinggi sehingga dihargai oleh industri tepung dan bio ethanol.
Mudah pemeliharaannya, menanam singkong sangatlah mudah, bibit nya pun gampang didapat, cukup potong batang singkong +/ 15 – 20 Cm dan ditanamkan ditanah yang sudah dibajak dengan jarak tanam 60 x 70. Dengan pemupukan dan penyiangan yang baik, singkong tumbuh optimal tanpa perlu di rawat secara njlimet.
Dengan segala keunggulan tersebut..? lantas bagaimana hitung-hitungan untung ruginya..? Yah namanya juga pengusaha, untung rugi, cost – profit analysis harus kita hitung masak-masak beserta resiko-resiko lainnya.
Berdasar pengalaman pribadi saya bermitra dengan ratusan petani, hampir tidak ada teknologi standar yang menjamin hasil yang optimal, 25 s/d 30 Ton/Hektar. Masing-masing petani punya pola dan teknologi sendiri berdasar pengalaman dan kondisi tanah dilingkungan mereka.
Berikut salah satu contoh hitung-hitungan budi daya singkong dengan target panen 25 Ton/Ha untuk jangka waktu 10 bulan:
Target Produksi : 25 Ton/Ha, Netto
Harga : Rp. 425/kg
Total Penerimaan : Rp. 10,625,000
Biaya sewa lahan : Rp. 750,000 ( Asumsi lahan sewa di Lampung)
Biaya pengolahan lahan : Rp. 700,000 ( Bajak & Ridger )
Biaya bibit : Rp. 350,000 ( 14,000 stek )
Biaya pemupukan : Rp. 1,300,000 (Urea, Kcl, SP 36 & Herbisida)
Biaya tenaga kerja : Rp. 1,300,000 (Ongkos tanam, mupuk & panen)
Ongkos Transport : Rp. 1,500,000 (Transport dari lahan kepabrik @Rp 60/kg)
Total Biaya : Rp. 5,900,000
Keuntungan Bersih : Rp. 4,725,000
Hasil investasi 107% dari modal, ongkos transport kita keluarkan dari perhitungan modal karena dibayar saat terima uang dari pabrik
Nah, cukup menguntungkan bukan..?