Showing posts with label financing. Show all posts
Showing posts with label financing. Show all posts

Wednesday, January 04, 2012

Bijak Dalam Berinvestasi...

Pagi ini Kompas Online menurunkan artikel berjudul cukup provokatif "Tahun Ini, Emas Bisa Tembus US $ 1,800"  per troy once.

Sementara beberapa hari terakhir media-media bisnis seperti Bisnis Indonesia, Harian Kontan dan Investor Daily mengulas cukup dalam larangan BI bagi beberapa Bank Syariah untuk meneruskan bisnis gadai emas.

Sejak awal 2009 sampai dengan kwartal ketiga 2011 memang harga emas naik sangat tajam, kadang lebih dari 30% setahun. Sebuah kenaikan yang sangat signifikan untuk seorang investor, juga untuk para spekulan.

Namun sejak Oktober 2011, seiring mulai merebaknya krisis utang di negara-negara zona Eropa dan membaiknya indikator perekonomian Amerika, harga emas mengalami penurunan cukup tajam, dari US $1,800 an ke US $ 1,400 per troy once.

Investor global beralih sementara dari emas sebagai safe heaven kembali ke mata uang negeri Paman Sam. Banyak investor kecil di Indonesia yang belum sempat melepas protofolio emasnya kelimpungan.

Apalagi teman-teman yang memanfaatkan emas untuk investasi spekulatif dengan mekanisme gadai emas, baik di Bank Syariah maupun di Pegadaian, atau yang populer disebut 'Berkebun Emas', kerugian mereka bertambah besar karena harus menanggung biaya gadai yang sudah cukup besar plus penurunan harga emas.

Sementara modal utama mereka hanya sebesar 10-20% dari nilai emas yang digadaikan. Belum lagi apabila BI benar-benar melarang Bank Bank Syariah untuk meneruskan bisnis gadai emas ini. Investor bakal diwajibkan untuk menebus emas yang digadaikan setelah jatuh tempo.

Dengan harga tebus pada saat harga rendah, modal awal bakal tergerus, bahkan bisa negatif

Memang beberapa tahun terakhir ini, bisnis gadai emas sangat ramai di bank-bank syariah. Bahkan menurut laporan BI bisa menyumbang pendapatan 20-40% dari pendapatan bank tersebut.

Padahal menurut standar BI, bisnis ini akan normal bila hanya menyumbang 10% pendapatan, sisanya seperti nature bisnis perbankan seharusnya berasal dari penyaluran kredit atau transaction fee

Sejatinya tindakan investasi spekulatif "berkebun emas" ini mirip-mirip dengan margin trading di saham, investor cukup menyediakan uang sebesar margin tertentu dan sisanya dipinjami oleh broker. Tentu saja dengan dikenakan bunga dan saham sebagai jaminan.

Bila harga naik return investor dari modal awal bisa berlipat lipat, namun jika harga turun kerugian investor juga lebih besar, bahkan bisa kehilangan semua modal awalnya jika harga turun melebihi margin yang disetor.

Begitu juga buat investor properti yang terlalu banyak menggunakan pinjaman bank sebagai leverage. Ujung-ujungnya bila harga properti sedang turun, nilai equity kita di properti bisa tergerus atau bahkan minus, dalam kasus tertentu bank akan minta jaminan tambahan, atau melakukan penyitaan bila cicilan kita tidak lancar...

Saham dan Emas sangatlah likuid, kita bisa jual kapan saja kita mau dan biaya transaksi rendah. Properti tidaklah likuid, butuh waktu untuk menjual dan biaya transaksi cukup tinggi.

Namun properti menawarkan arus kas yang cukup bagus bila kita sewakan, sekitar 5% untuk rumah tinggal, 10-15% untuk apartemen dan bisa diatas itu utk properti komersial seperti ruko atau gudang.

Sementara saham dan emas hanya bisa berharap dari kenaikan harga atau Capital Gain karena arus kas dari deviden sangatlah rendah, emas, sepanjang yang saya tahu, bahkan tidak bisa memberikan arus kas sama sekali.

Kenaikan harga Saham dan Emas sangatlah dipengaruhi faktor eksternal yang tidak bisa kita manage sama sekali, itu mengikuti gejolak dan perkembangan ekonomi dunia. Sementara properti hampir sepenuhnya dibawah kontrol kita untuk dikelola seperti apa....

Jadi pilihan investasi apa yang cocok buat anda, cocok dengan 'risk profile' anda ? Semuanya punya kelebihan, semuanya punya resiko...

Mengutip ucapan Warren Buffet, " Resiko bukanlah pada aset tempat kita berinvestasi, tapi pada ketidaktahuan kita terhadap apa yang kita lakukan dalam berinvestasi "

Jadi belajarlah dan bijaklah dalam berinvestasi !

Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!

Wednesday, December 07, 2011

Kapan Saat Tepat Masuk Bursa ?

Apakah sekarang saat yang tepat untuk masuk bursa ? Saham apa yang akan anda pilih ?

Dua pertanyaan besar diatas selalu menggoda saya akhir-akhir ini. Tepatnya sejak dua tiga bulan lalu saat indek mencapai titik terendah di level 3,200 pada awal oktober  setelah sebelumnya mencapai titik tertinggi di level 4,175 di bulan Agustus 2011.

Saat itu banyak teman yang masuk dan mengajak saya ikut masuk. Tentu bagi yang masuk di awal Oktober saat indek mencapai level sangat rendah dan pilihan sahamnya tepat,  saat ini pasti tersenyum sumringah, karena indek sudah naik kembali ke level 3,700 an. Bahkan mungkin sudah banyak yang merealisasikan profitnya.

Bursa sempat terpangkas seperempatnya dan terjerembab ke level 3,200 an disebabkan kekhawatiran perekonomian Eropa yang mulai demam. Euro terjun bebas dan bursa di Eropa berguguran.
Investor dilanda ketakutan akan akibat gagal bayarnya hutang Yunani, Portugal dan Spanyol. 

Belakangan Italia juga mulai demam dan bisa merembet ke Perancis dan German sebagai dua negara terkuat perekonomiannya di zona Eropa.

Saya memilih untuk tetap Istiqomah, stay away dari market. Pertimbangan utama saya karena melihat bahwa bursa belumlah mencapai titik terendahnya.

Walaupun sekarang sudah mulai kembali mendaki tinggi, namun ini masih bersifat sementara karena bayang-bayang krisis Eropa masih membayang.  Dan yang harus selalu diingat ! 80% transaksi berasal dari dana asing yang bisa ditarik setiap saat.

Beberapa pengamat keuangan memprediksikan bahwa krisis di Eropa belum akan ada obat mujarabnya dalam waktu dekat.  Dan imbasnya ke perekonomian Asia, termasuk Indonesia, baru akan terasa memasuki kwartal dua dan tiga 2012.

Permintaan domestik di Eropa anjlok, ekspor China dan India melambat, pada gilirannya akan ikut menghantam ekspor komoditas Indonesia ke negara-negara tersebut. Memang kita masih bisa mengandalkan pasar domestik yang cukup besar. Namun sektor finansial tetap akan goyang kalau hot money ditarik dari bursa.

Kita tentu masih inget kejadian tahun 2008, hanya tiga tahun yang lalu, saat bursa tiba-tiba rontok dari titik tertingginya di level 2,800 ke level 1,200 an hanya dalam beberapa bulan. Saat itu semua dana asing seolah-olah ditarik dari bursa akibat krisis subprime mortgage di Amerika yang menumbangkan Lehman Brothers, Bank Of America dan lainnya.

Saya ulang sekali lagi, kejadian itu baru terjadi tiga tahun lalu di November 2008 saat bursa mencapai titik terendah di level 1,200 an. Saat itu sebenarnya saya juga masuk bursa, pilihannya sahamnyapun tepat, sayangnya saya memilih sekuritas yang salah; Sarijaya Securities, yang menggelapkan ratusan miliar dana nasabah itu, sebagian kecil dana saya juga turut ambles.

Sekarang, saya masih berpendirian belum saatnya masuk lagi, tunggu sampai efek krisis Eropa dan pemilu Amerika lewat, mungkin di paruh kedua 2012. Saat itu bisa jadi indek sudah turun ke level 2,500 an. Barulah kita boleh masuk lagi........

Namun beberapa hari ini saya mulai bimbang, akankah indek bisa jatuh sedalam itu ? mengingat kinerja perekonomian kita yang kinclong, inflasi rendah, BI rate terus turun dan bunga kredit dipaksa pula untuk turun.

Belum lagi di tahun 2012 Indonesia akan mendapat predikat investment grade. Logikanya semua faktor tersebut justru akan menarik dana-dana asing masuk dan memberi otot  bursa untuk terus mendaki...bisa-bisa saya jadi telat untuk masuk

Jadi sebagai investor jangka panjang strateginya harus seperti apa ? Kapan saatnya masuk bursa ? Bagaimana menurut Anda ..........?


Friday, August 20, 2010

Type Studio - Kebagusan City




Minggu lalu baru saja saya menyelesaikan sebuah transaksi kecil, menambah portofolio porperty saya.

Sebuah unit apartemen type studio di Kebagusan City, di beli dengan leverage pinjaman Bank hampir full.

Sudah full furnished, siap huni dan menunggu untuk DISEWAKAN....

Lokasi di Kebagusan City, belakang perkantoran Arkadia Lenteng Agung, dan sangat dekat dengan beberapa Universitas seperti IISIP, Univ Pancasila, Univ Gunadarma dan UI.

Perkantoran di sepanjang TB Simatupang, Lebak Bulus dan Pondok Indah dapat dijangkau kurang dari 15 menit. Akses tol langsung ke arah Bintaro Serpong maupun ke Cawang, Bekasi dan Bogor.

Anda berminat untuk menyewa ? silakan kontak kami...

Tuesday, August 03, 2010

Cash on Cash Margin - Apartemen Crown Court Cikarang




Ini juga hasil praktek jurus jurus property ....

Sebuah apartemen mungil dua kamar, saat ini tersewa oleh expatriate Jepang yang memang banyak bekerja di kawasan industri Cikarang dan Jababeka....

Return on Assets 15% pertahun. Cash on Cash Margin 45% karena pembelian dibiayai melalui KPA serta saat dibeli sudah ada penyewa yang masih 10 bulan lagi....

Nothing Down - Cikarang House


Hasil belajar dari James Property Investor serta membaca, memahami, meresapi dan mempraktekan buku buku Dolf De Roos, Joe Hartanto, Cipto Junaedy dan Property Rich nya Donald Trump....

Rumah Kos 15 kamar, full AC, TV Kabel, Internet, Hot Water dan minibar dalam kamar... Alhamdulillah selalu penuh...

Dibeli dengan sedikit uang untuk biaya administrasi saja.....

Friday, May 01, 2009

How Self-Made Titans Got Their Starts


Baru baru ini ramai di milis TDA di bicarakan mengenai topic bagaimana mendapatkan modal untuk memulai usaha ? apakah sebaiknya melalui modal sendiri ? pinjaman keluarga ? pinjaman dari Bank ? atau membentuk partnership dengan pihak pihak yang memiliki modal atau investor ?

Masing masing opsi memiliki kelebihan dan kelemahan masing masing, juga tingkat resiko yang berbeda beda…menurut saya semua conditional… tergantung dari dari bisnis apa yang akan kita jalankan dan bagaimana tingkat resiko atau kepastian keberhasilan dari bisnis tersebut

Saya menemukan sebuah artikel menarik dari majalah forbes edisi terbaru. Salah satu artikelnya mengupas topic bagaimana para pebisnis sukses Amerika memperoleh modal saat pertama kali memulai usaha…

Beberapa pebisnis sukses yang dikupas antara lain; John Catsimatidis, pemilik Red Apple Group yang memulai usahanya dengan memperoleh bagi hasil dari pemilik toko retail dimana dia bekerja. Bekerja sejak lulus SMA dan menjelang umur 20 tahun sudah memperoleh bagi hasil $ 500 per week.
Pada umur 25 tahun dia sudah memiliki 10 toko dengan penjualan $ 25 juta dan net income $ 1 juta. Asyiknya lagi bebas dari hutang.. !

Lain lagi dengan Sandy Weill, mendirikan usahanya dari hasil menabung saat bekerja di Bear Stern. Dengan modal $ 200,000 patungan bersama dua temennya yang lain mereka mendirikan Carter, Berlind & Weill yang merupakan cikal bakal The Traveller Group. Traveller Group belakangan merger dengan Citicorp dan membentuk Citigroup…

Menariknya berdasarkan sebuah survey Biro Sensus di Amerika yang dilakukan pada tahun 2002. Dari 16 juta pemilik usaha ternyata 55% modal awalnya berasal dari tabungan atau didanai keluarga, 11.4% dari pinjaman Bank dan 8.8% dari pinjaman pribadi atay kartu kredit. Sedangkan sisanya dari pemerintah atau investor….

Artikel selengkapnya dapat anda baca dibawah ini......
Entrepreneurs : by Melanie Lindner

Capital is a constraint for many would-be entrepreneurs--or is it?

Scan the Forbes list of the world's richest people and you'll come across moguls from startlingly humble origins.

How did they get their impressive empires off the ground? Sweat, savings, schmoozing, creativity and a dab or two of good fortune.

To be fair, the lucky few "born on third base" probably have a better shot at stardom than those without a safety net.

According to a 2002 U.S. Census Bureau survey representing some 16 million business owners, a whopping 55% were initially funded by personal and family capital. Just 11.4% snagged bank loans and 8.8% got going on personal and business credit cards; much of the remainder lived on government loans and outside investors.

Some world-beating entrepreneurs--like John Catsimatidis, owner of the Red Apple Group and aspiring mayor of New York City--scared up capital by getting to know the right people.

The son of a busboy, Catsimatidis entered the grocery industry in the summer of 1966, just after graduating from high school. Befriending the owner of a Manhattan superette, he started taking on more responsibilities. Four years later, the owner offered him a 50% stake in one of his stores, to be acquired over 10 months at a rate of $1,000 per month.

Within a few months, the store's sales doubled, and Catsimatidis was earning a profit of $500 per week (not bad for a 20-year-old back then). After dropping out of New York University just eight credits shy of a degree, he launched his own grocery chain, the Red Apple Group. Lacking working capital for inventory, Catsimatidis charmed vendors to let him buy on credit, something he says "would never happen today." By the age of 25, he owned 10 stores--debt-free--netting a combined $1 million on $25 million in sales. Today the Red Apple empire includes Gristede's, Sloan's and Red Apple.

While Catsimatidis struck out on his own early, others, like Sandy Weill, saved their pennies before taking the plunge. Born in Brooklyn, N.Y., to Polish immigrants in 1933, Weill graduated from Cornell on scholarship before working as a runner for Bear Stearns and nabbing his stockbrokers' license at night.

A few years later, in 1960, he and three friends pooled their savings--an estimated $200,000--and opened their own brokerage firm, called Carter Berlind and Weill. Two decades of acquisitions later, their Travelers Group was the industry's second-largest brokerage, trailing only Merrill Lynch. In 1998, Travelers Group merged with Citicorp to make what is now known as Citigroup.

Old fashioned bartering helped put Kirk Kerkorian, farmer's son and future Wall Street titan, on the map. In the late 1930s, Kerkorian offered to look after famous female aviator Pancho Barnes' cattle in return for flying lessons.

During World War II, he took a job with the Royal Air Force transporting planes from their Canadian factory to England at $1,000 per month--an especially treacherous journey as the planes weren't designed to withstand the long trip or the harsh weather over the North Atlantic.
With savings from his wartime job, Kerkorian purchased Trans International Airlines for $60,000 in 1947. (It is unclear as to whether he needed additional financing.) He later sold it to Transamerica for $104 million in stock, used to fuel further investments. His private investment firm, Tracinda, now owns 53% of MGM Mirage.
Sometimes sheer talent and persistence is enough. As a single mother on welfare in Scotland, J.K. Rowling began writing the first Harry Potter novel in Edinburgh cafés whenever she could get her infant daughter to sleep.

After being rejected by 12 publishing houses, Bloomsbury, a small publisher in London, offered an advance of 1,500 pounds (about $2,400)--even while one its editors, Barry Cunningham, advised Rowling to get a day job.
Good thing she didn't listen: The following year, U.S. publishing rights to the first Potter book sold for $105,000. Rowling has since moved nearly 400 million copies worldwide, and is the only author on our list.

http://www.forbes.com/2008/06/03/citigroup-harry-potter-ent-fin-cx_ml_0603titanfinancing.html