Sementara beberapa hari terakhir media-media bisnis seperti Bisnis Indonesia, Harian Kontan dan Investor Daily mengulas cukup dalam larangan BI bagi beberapa Bank Syariah untuk meneruskan bisnis gadai emas.
Sejak awal 2009 sampai dengan kwartal ketiga 2011 memang harga emas naik sangat tajam, kadang lebih dari 30% setahun. Sebuah kenaikan yang sangat signifikan untuk seorang investor, juga untuk para spekulan.
Namun sejak Oktober 2011, seiring mulai merebaknya krisis utang di negara-negara zona Eropa dan membaiknya indikator perekonomian Amerika, harga emas mengalami penurunan cukup tajam, dari US $1,800 an ke US $ 1,400 per troy once.
Investor global beralih sementara dari emas sebagai safe heaven kembali ke mata uang negeri Paman Sam. Banyak investor kecil di Indonesia yang belum sempat melepas protofolio emasnya kelimpungan.
Apalagi teman-teman yang memanfaatkan emas untuk investasi spekulatif dengan mekanisme gadai emas, baik di Bank Syariah maupun di Pegadaian, atau yang populer disebut 'Berkebun Emas', kerugian mereka bertambah besar karena harus menanggung biaya gadai yang sudah cukup besar plus penurunan harga emas.
Sementara modal utama mereka hanya sebesar 10-20% dari nilai emas yang digadaikan. Belum lagi apabila BI benar-benar melarang Bank Bank Syariah untuk meneruskan bisnis gadai emas ini. Investor bakal diwajibkan untuk menebus emas yang digadaikan setelah jatuh tempo.
Dengan harga tebus pada saat harga rendah, modal awal bakal tergerus, bahkan bisa negatif
Memang beberapa tahun terakhir ini, bisnis gadai emas sangat ramai di bank-bank syariah. Bahkan menurut laporan BI bisa menyumbang pendapatan 20-40% dari pendapatan bank tersebut.
Padahal menurut standar BI, bisnis ini akan normal bila hanya menyumbang 10% pendapatan, sisanya seperti nature bisnis perbankan seharusnya berasal dari penyaluran kredit atau transaction fee
Sejatinya tindakan investasi spekulatif "berkebun emas" ini mirip-mirip dengan margin trading di saham, investor cukup menyediakan uang sebesar margin tertentu dan sisanya dipinjami oleh broker. Tentu saja dengan dikenakan bunga dan saham sebagai jaminan.
Bila harga naik return investor dari modal awal bisa berlipat lipat, namun jika harga turun kerugian investor juga lebih besar, bahkan bisa kehilangan semua modal awalnya jika harga turun melebihi margin yang disetor.
Begitu juga buat investor properti yang terlalu banyak menggunakan pinjaman bank sebagai leverage. Ujung-ujungnya bila harga properti sedang turun, nilai equity kita di properti bisa tergerus atau bahkan minus, dalam kasus tertentu bank akan minta jaminan tambahan, atau melakukan penyitaan bila cicilan kita tidak lancar...
Saham dan Emas sangatlah likuid, kita bisa jual kapan saja kita mau dan biaya transaksi rendah. Properti tidaklah likuid, butuh waktu untuk menjual dan biaya transaksi cukup tinggi.
Namun properti menawarkan arus kas yang cukup bagus bila kita sewakan, sekitar 5% untuk rumah tinggal, 10-15% untuk apartemen dan bisa diatas itu utk properti komersial seperti ruko atau gudang.
Sementara saham dan emas hanya bisa berharap dari kenaikan harga atau Capital Gain karena arus kas dari deviden sangatlah rendah, emas, sepanjang yang saya tahu, bahkan tidak bisa memberikan arus kas sama sekali.
Kenaikan harga Saham dan Emas sangatlah dipengaruhi faktor eksternal yang tidak bisa kita manage sama sekali, itu mengikuti gejolak dan perkembangan ekonomi dunia. Sementara properti hampir sepenuhnya dibawah kontrol kita untuk dikelola seperti apa....
Jadi pilihan investasi apa yang cocok buat anda, cocok dengan 'risk profile' anda ? Semuanya punya kelebihan, semuanya punya resiko...
Mengutip ucapan Warren Buffet, " Resiko bukanlah pada aset tempat kita berinvestasi, tapi pada ketidaktahuan kita terhadap apa yang kita lakukan dalam berinvestasi "
Jadi belajarlah dan bijaklah dalam berinvestasi !
Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!
No comments:
Post a Comment