Baru-baru ini salah seorang Menteri melontarkan gagasan yang cukup brilian, walaupun banyak juga yang menentang, agar rakyat Indonesia mengurangi konsumsi nasi, sehingga kita tiap tahun tidak dipusingkan tercapai tidaknya swasembada beras dan berapa defisit yang harus diimpor.
Dialah Gita Wiryawan, Kepala BKPM yang juga merangkap Menteri Perdagangan. Seorang Menteri yang masih muda, santun, ganteng, kaya, penuh terobosan dan terlihat cerdas !
He.he.he sorry Pak Menteri kalau saya bilang terlihat cerdas, bukan berarti saya mengatakan tidak cerdas beneran, track record Bapak di dunia korporasi sudah membuktikan itu dan sayapun sudah membuktikan dari beberapa kali percakapan dengan Bapak....
Pasca lengsernya Pak Harto, hampir setiap tahun Indonesia selalu mengimpor beras, entah dari vietnam, thailand atau malah India. Padahal tradisi bertani kita tidaklah kalah oleh mereka. Ini tentu menjadi hal yang sangat ironis mengingat kita juga merupakan salah satu produsen beras terbesar dunia
Hitung punya hitung, ternyata masyarakat kita juga merupakan konsumen beras paling tinggi di dunia. Data yang disodorkan; rata-rata orang Indonesia makan nasi 120 - 140 kg pertahun per orang, bandingkan dengan vietnam, malaysia atau thailand yang konsumsi rata-ratanya di level 60 – 70 kg pertahun per orang.
Padahal dari berbagai suku yang ada di Indonesia tidak semuanya makan nasi sebagai makanan utama mereka. Rakyat Papua lebih suka makan sagu, begitu juga ambon dan lainnya. Namun kampanye jaman orba bahwa kalau belum makan nasi dianggap belum sejahtera rupanya sangatlah berhasil sehingga semua orang menjadikan nasi sebagai makanan pokoknya.
Saya setuju peningkatan produksi beras sangatlah penting. Tapi sampai seberapa jauh hal ini bisa dilaksanakan ? mengingat luasan sawah semakin sempit dan tentunya kita tidak ingin menebangi hutan untuk dijadikan sawah
Ide mengelola kebutuhan beras dari sisi demand sangatlah menarik, juga bisa dilakukan mengingat sangat tingginya konsumsi nasi perkapita. Kalau saja setiap orang Indonesia mengurangi konsumsi beras 40 kg pertahun, maka akan ada penghematan sebesar 40 kg x 250 juta = 10 juta ton per tahun
Sementara kita mengimpor beras setiap tahun sekitar 2 – 5 juta ton. Dengan penghematan 10 juta ton pertahun kita langsung menjadi negara surplus beras yang bisa kita ekspor. Mengganti 40 kg beras bisa kita lakukan dengan diversifikasi pangan; ubi, singkong, sagu, buah buahan dan susu yang lebih sehat
Selama ini kita selalu fokus pada sisi penyediaan atau supply, namun tidak pernah secara serius dan arif mengelola sisi konsumsi atau demand sehingga yang terjadi seperti 'rat race'...produksi bertambah namun konsumsi bertambah lebih cepat lagi.
Ini tidak hanya terjadi pada beras, pada BBM dan listrik juga begitu. Setiap tahun pemerintah dipusingkan subsidi BBM dan Listrik yang selalu bengkak, lebih besar dari yang dianggarkan APBN.
Tahun lalu saja subsidi BBM jebol melebihi angka Rp. 160 triliun dan subsidi Listrik diatas Rp. 50 triliun.
Sementara produksi minyak kita selalu dibawah target, tiga tahun terakhir produksi minyak kita tidak pernah mencapai 1 juta barrel per day tapi konsumsi BBM selalu naik. Hal ini terjadi karena penurunan produksi sumur-sumur tua dan lambatnya penemuan sumur baru karena investasi yang sedikit. Dan toh pada akhirnya minyak akan habis juga...
Tidak pernah ada kebijakan yang serius di implementasikan untuk membenahi sisi konsumsi. Apakah konsumsi BBM dan listrik sebanyak itu untuk kegiatan produktif ? memberi nilai tambah pada perekonomian ? atau hanyalah pemborosan dijalanan ?
Sudah bisa ditebak, jawabannya sebagian besar adalah pemborosan. Lihat saja kemacetan yang terjadi setiap hari di kota-kota besar di Indonesia. Paling parah di jakarta dan Bandung...setiap orang memakai mobil, satu keluarga bisa pakai tiga mobil pada saat bersamaan, isinya cuman sendirian atau dengan sopir..alangkah borosnya negara ini...
Kenapa Pemerintah tidak secara serius mengaturnya ? hanya kebijakan three in one saja apakah cukup ? kampanya penggunaan angkutan umum tanpa dibarengi pembenahan sektor transportasi publik hanyalah omong kosong belaka...
Sudah saatnya, dipaksa kalau perlu, disediakan transportasi publik massal yang memadai. Busway walaupun masih banyak masalah tapi sudah lumayan, kereta mesti dibenahi, monorail bagaimana kelanjutannya ?
Saya yakin, masyarakat kita pasti bisa dan mau mengikuti anjuran penggunaan transportasi publik jika disediakan secara memadai
Begitu juga pemakaian listrik. Budayakan pemakaian seperlunya saja. Matikan lampu bila siang hari, termasuk lampu-lampur penerangan di tempat umum. Masih banyak daerah-daerah diluar Jawa yang belum terlistriki dengan baik
Jadi ide pembenahan sisi permintaan dari Gita Wiryawan patut diapresiasi, tidak hanya sektor perberasan, tapi juga sektor energi.
No comments:
Post a Comment